Hari pertama berjalan dengan lancar, tidak sesuai dengan perkiraan. Teman sekelasnya cukup ramah pada orang asing seperti Lin. Hanya saja, mereka sedikit sensitif jika dikaitkan dengan kelas lain. Lin sendiri tau bagaimana sakit dan sulitnya jika dibandingkan dengan orang lain. Dia pernah merasakan kesulitan meraup oksigen yang harusnya manusia normal bisa dapat dengan mudah. Dia tidak pernah meminta dilahirkan seperti ini. Di tengah-tengah keluarga yang tidak normal pula. Jujur saja kali ini ia tidak ingin pulang ke rumah. Dalam hati yang paling dalam ia menginginkan suara-suara itu kembali hadir dalam pendengarannya.
Petikan gitar yang masih samar bisa dia ingat, dan juga teriakan wanita yang selalu membuat hidupnya berwarna diumur yang masih belia. Tapi semua sudah tidak ada, ketika di rumah, yang bisa ia dengar hanyalah suara hampa. Lorong-lorong megah dan mewah tidak ada artinya, karena apapun yang dia punya Linggara tetap kesepian.
Ia mengusap kepalanya, mencoba untuk menghilangkan lamunan yang akan mustahil ia dapatkan diwaktu selanjutnya. Menunggu sopirnya datang di depan gerbang sangat melelahkan. Tapi, ia kembali mengingat kala Delta bertanya padanya. Dan ia hanya bisa diam sambil tersenyum ke arah lainnya.
"Kamu pasti terkekang ya?"
Pertanyaan itu wajar diucapkan oleh sesama remaja, tapi tidak bagi Delta yang terlihat seperti manusia apatis.
"Ya ampun!" Tentu saja seruan itu membuat Lin terkejut setengah mati. Ia heran kenapa gadis itu tiba-tiba saja berteriak tepat di depan telinganya.
"Lo bener anak kelas sebelas?!! Gila ya, sekarang sekolah kita punya anak kinclong kaya dia! Baru liat gua, lo anak baru?!" Lin mengangguk canggung. Sasi itu memang seperti itu, suka kaget kalau liat sesuatu yang baru. Apalagi wajah baru kaya Lin.
"Lo apa-apaan sih, Sas?!! Malu-maluin!" Seorang gadis lain datang menghampiri mereka.
"Iya kak, saya anak baru. Ini baru hari pertama saya!" Sasi menepuk bahu Lin dengan kuat. Membuat remaja itu menahan sakit dalam diam.
"Eh, nggak usah formal formal amat lah. Bukan ospek ini!" Gadis di samping Sasi hanya berdecak. Memutar bola matanya. Erni sebenarnya ingin cepat pergi dari tempat ini. Cukup punya malu ketika ia bersama dengan Sasi dengan tingkah absurd-nya.
"Nama gue Sasi, kelas 12. Ini temen gue, namanya Erni!" Lin menganggukkan kepalanya. Erni hanya berdeham pasrah.
"Nama aku Lin, kak. Salam kenal!"
"Nama kamu unik ya?!"
"Hehe, iya kak. Namanya dari ayah, nggak tau kenapa tapi mirip anak cewek." Tiba-tiba, Sasi yang melihat wajah polos milik Lin langsung terpikat. Bukan terpikat dalam konteks dewasa, tapi seperti tertarik untuk menjadi teman dari adik kelasnya ini. Sampai tiga orang itu saling melambaikan tangannya, ada senyum yang terukir manis di bibir milik Lin. Jujur saja, ia lebih senang berada di sini daripada di sekolah lamanya.
Tak lama, mobil hitam berhenti di dekat ia berdiri dengan sopir yang membunyikan klakson secara tiba-tiba membuat Lin terkejut setengah mati. Sedangkan orang yang mengendarai mobil hanya terkekeh melihat tingkah Lin.
"Pak Basuki!! Aku kaget tau nggak!!!" Serunya sambil marah-marah. Bahkan omelannya belum berhenti ketika mobil itu kembali melaju. Membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan dengan kecepatan konstan.
"Udah Den ngomelnya. Nanti Tuan ada di rumah, entar Aden kaget lagi." Dan kalimat itu berhasil membuat Lin terdiam. Tidak biasanya sang ayah sudah pulang jam segini. Biasanya juga larut malam, atau bahkan sampai subuh menjelang. Karena diam-diam, Lin menunggu ayahnya hingga pulang. Kemudian berpura-pura tidur ketika sang ayah mengecek keadaannya di dalam kamar. Mungkin sudah kebiasaan Jeremi untuk mengecek keadaan anaknya sebelum ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang besar pribadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Fiksi RemajaLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...