Matahari mulai turun dari tahtanya. Parkiran sekolah terlihat senggang dan sepi. Sore ini seharusnya semua siswa sudah ada di rumah. Entah itu bersantai bersama keluarga atau melakukan hal umum yang biasa anak remaja lakukan. Tapi kali ini tidak untuk kelas XI MIPA 4. Tidak semua, cuma beberapa anggota kelas dengan pengurus inti.
Delta menatap Lin yang sibuk memikirkan entah apa. Bisa dia lihat dahinya yang berkerut sambil menggigit bibirnya. Mungkin itu sudah kebiasaannya ketika berfikir keras. Delta menghela nafasnya. Jujur saja, ada yang mengganjal dalam hatinya. Sebelumnya, dia tidak pernah mengikuti kegiatan seperti ini. Dan tiba-tiba Lin menunjuknya untuk ikut lomba cerdas cermat bersama dengan Juan.
"Oke, 'kan ini ada beberapa lomba. Cerdas cermat, basket, band, sama mading. Aku cuma akan jadi ketua buat sementara, setelah pekan lomba berakhir, terserah kalian mau siapa yang jadi pemimpin aku nggak peduli. Tapi aku mohon banget sama kalian, ayo kita kerja sama buat tunjukkin ke kelas lain kalau kita juga bisa." Kalimat milik Lin terdengar menjanjikan. Dan tanpa sadar, membuat orang-orang di sekitarnya menjadi lebih percaya diri dibandingkan sebelumnya. Kecuali, satu orang.
"Oke, asal itu lo. Kalau yang lain, gue nggak yakin." Cicit Juan.
"Maaf ya Lin, kelas kita emang gini dari dulu." Dinda juga ikut menyahut. Merasa tidak enak karena teman-temannya mang tidak bisa diandalkan bila berhubungan dengan kegiatan semacam ini.
"Nggak apa apa, aku yakin kalian punya bakat. Cuma perlu dilatih aja!"
Lin punya rencana sendiri mengumpulkan beberapa anak ini. Tapi, rencana itu tidak akan berjalan mulus jika
"Rencananya aku nggak langsung tunjuk siapa yang bakal ikutan. Aku cuma pilih buat mereka yang mau berjuang buat kelas. Sekali lagi aku tekankan, aku cuma milih buat mereka yang mau berjuang buat kelas." Ada jeda di antara mereka hingga membuat suasana menjadi hening.
"Tadi aku udah bilang, Delta, sama Juan bakal ikut cerdas cermat. Tinggal satu lagi, kalian punya usul?"
"Lin, maaf!" Itu Delta yang tiba-tiba mengangkat tangannya. Membuat seluruh atensi beralih padanya.
"Aku nggak bisa ikut. Maaf!" Kalimat delta membuat seisi ruangan terkejut, termasuk Lin yang kini mendekat padanya.
"Del, kamu tau kan ini buat kelas?!"
"Tadi kamu bilang, buat yang mau berjuang buat kelas kan?! Sekarang aku bilang kalau aku nggak mau!"
"Hell, maksud lo apa hah?! Lin udah rela mau sibuk buat kelas, dan sekarang seenaknya lo bilang gak mau?!" Kini Juan yang emosi, mencengkeram kerah baju Delta dengan kencang.
"Juan, udah! Nggak apa-apa!" Katanya sambil menarik tangan Juan dari Delta.
"Tapi dia—"
"Udah, nggak apa-apa. Dia bener, tadi aku bilang yang mau berjuang buat kelas. Kalau emang dia keberatan, ya udah nggak apa-apa." Delta kemudian bangkit dari duduknya. Dan tanpa mengatakan apa-apa, ia melangkah pergi dari sana. Membuat pertanyaan di setiap orang.
"Udah nggak apa-apa. Masih ada anak lain yang bisa gantiin dia." Kata Lin sambil mencoret nama Delta dari daftar yang telah ia buat tadi.
"Kalau boleh tau, Delta emang kaya gitu?"
"Nggak, dulu waktu pertama kali masuk SMA, dia nggak gitu. Dia berubah, saat kembarannya hilang satu tahun—"
"Dinda, cukup! Gue rasa itu bukan hak kita buat menghakimi dan nyeritain masalahnya sama orang lain. Karena kita nggak bisa ngerasain apa yang dia rasa." Dekka menghentikan kalimat Dinda. Benar apa yang ia katakan. Setelahnya, tidak ada yang berani bicara tentang Delta lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Roman pour AdolescentsLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...