Malam itu, Renan diam-diam masuk kedalam kamar milik Lin. Berusaha setenang mungkin agar dia tak terbangun dari tidurnya. Duduk di pinggir ranjang kemudian menatap lamat-lamat sosok adik dari dekat. Dia punya banyak hal untuk dibicarakan, tapi mengingat wajah tentram milik Lin membuatnya tak tega untuk membangunkan.
"Lin, maaf buat kemarin. Kakak yang salah, kamu benar. Bunda tidak seperti dulu lagi ... " Lirih remaja itu dalam senyap dan temaram ruangan.
"Aku cuma takut, takut Bunda kenapa-kenapa kalau Om Dewa jadi pengganti Ayah buat kita. Aku takut, Lin ..." Renan meremat selimut yang ia genggam.
"Kak ..." Lin belum tidur, ia hanya menutup matanya. Mengistirahatkan tubuhnya dari segala lelah. Renan menatap Lin dengan sendu pada tatapnya. "Aku udah maafin kakak ..."
"Soal Bunda, Bunda pasti nggak mau sendiri terus. Kasian Bunda juga nanti kalau udah tua, nggak ada yang nemenin kemana-mana." Tapi yang Lin tangkap dalam sorot milik Renan yang jauh lebih dalam dari perkiraannya.
"Tapi nggak sama Om Dewa."
"Kenapa? Kakak nggak suka Ananta? Bener kan?"
"Kakak cuma ... cuma takut."
"Kenapa?"
Tepat satu tahun yang lalu ...
Di sebuah malam yang dingin, Renan menunggu Ronata yang tengah bertemu dengan temannya di sebuah restoran. Kelihatannya, walau sudah satu jam menunggu, Ronata belum terlihat akan pergi. Padahal ia sangat mengkhawatirkan Ronata, ternyata dia bersenang-senang dengan temannya. Lebih baik dia pergi sebelum bundanya itu menemukan keberadaannya.
Renan sudah terbiasa pergi malam-malam hanya untuk bertemu dengan temannya. Jalan kaki pula, karena ia tak diijinkan untuk membawa kendaraan bermotor sebelum kuliah oleh Ronata.
Langkahnya terhenti, ketika melihat sosok remaja yang tengah berlari dari depan. Tapi kala itu, nafasnya serasa terhenti saat itu juga. Remaja yang melewatinya itu tampak familier. Menjatuhkan sebuah pisau yang penuh dengan noda berwarna merah. Dan diwaktu yang sama pula ia tahu siapa remaja itu, remaja kelas X dari kelas unggulan. Ananta.
Kala itu, jantungnya berdegup sangat kencang. Pisau itu cukup membuatnya gemetaran, ada keinginan untuk kembali ketempat sang bunda. Tapi, beberapa kali dia menepis pikiran negatifnya. Namun, ketika ia mencoba untuk kembali melangkah ke depan ada sebuah cairan berwarna gelap yang menggenang tepat di gang sepi itu.
Renan benar-benar takut tidak bisa melangkahkan kakinya lagi.
Dan saat yang paling ia sesali adalah, saat Renan milih untuk pergi dari tempat itu. Kembali menunggu Ronata di restoran tadi. Lalu keesokan harinya, sekolahnya gempar karena hilangnya ketua OSIS tingkat 3, Dikta dari kelas MIPA 4.
🍁🍁🍁
Lin mendengarkan cerita kakaknya. Ketakutan Renan memang sangat beralasan. Tapi, apa mungkin kejadian itu ada hubungannya dengan hilangnya Dikta.
"Kakak selalu menepis pikiran negatif yang muncul tiba-tiba. Sebuah kebetulan yang sangat mencurigakan. Dikta itu tetangga yang tak jauh dari sini. Delta tidak pernah ikut ekskul mading setelahnya. Dia seperti kehilangan separuh jiwanya."
"Tapi ... sampai sekarang emang nggak ada yang tahu keberadaan Dikta?" Renan mengangguk.
"Dikta membawa ponsel, tapi tidak bisa dilacak. Polisi memeriksa seluruh CCTV di seluruh jalan dan gang tapi tetap tidak ada titik temu. Hingga saat ini, keluarganya tidak tahu apakah dia masih hidup atau kemungkinan terburuknya ... " Lin menghela nafas. MIPA 4 juga berubah karena Dikta, Delta berubah juga karena hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Arjuna✓
Ficção AdolescenteLinggara tak pernah menyangka ada kehidupan serumit hidupnya. Sosok ayah yang misterius membuat harinya dipenuhi dengan tanda tanya yang tak dapat dijawab siapapun. Ketika ia merasa sedih kala sang ayah mudah tersulut emosi, disaat yang sama ia mera...