Catatan 11

31 2 1
                                    

Masalah satu kelar, muncul lagi yang baru. Hidup emang masalah yang berkelanjutan. Menonaktifkan gawai, aku pulang memutar lagi supaya lebih lama sampai di posko. Irham dan Fadli terus-terusan bertanya aku dimana. Nyebelin!

Perjalanan pulang dari sekolah atau dari manapun menuju posko menjadi hal random bagiku mengikuti kemana kaki melangkah. Pernah sampai tak sadar dua desa terlewati dengan berjalan kaki hanya untuk mencocokkan niat diri sampai posko waktu isya, atau mepet mau rapat. Supaya langsung duduk tanpa basa-basi sama orang. Tapi habis insiden itu aku pegal-pegal kaki selama tiga hari.

Kay dan Andin heran melihat tingkah aku yang nggak biasanya.

"Ada masalah di posko, Dan?" Suatu hari Andin pernah bertanya seperti itu, yang hanya dijawab gelengan kepala dan cengengesan. Kalo aku bilang kesel ke si Fadli gegara kejadian rok sobek, bakal panjang nanti urusannya, bener gak? Selain berefek ke si Fadlun, aku sendiri bakal terbawa-bawa. Emang kamu mau diomongin seposko kalo paha Lo dinotice cowok? Jijik gak sih? Emang diem jalan terbaik.

Lalu Kay juga pernah menyelidik.
"Ada apa kamu sama si Fadli? Dia nyariin kamu seharian, kamunya ngilang gak tau kemana. Lagi maen apaan sih?"

Aku hanya mengedikkan bahu, "Aku sibuk di sekolah, Kay. Kan udah biasa si Fadli mah suka dibikin heboh urusan kecil juga. Gak kenapa-napa kok kita. Aman-aman aja." Lalu cengiran perdamaian aku keluarkan. Kay masih melihatku tajam, seakan membaca tulisan di jidat, 'Danika lagi ngibul'. Mencekam.

Dari semua pertanyaan itu aku masih bisa mengelak atau mengalihkan topik obrolan. Mungkin mereka sadar aku menghindar tapi syukurlah tak sampai memaksa bercerita. Jadi pengembaraan masih terjadi. Nilai positif dari kegiatan ini adalah bisa tahu spot-spot kuliner enak. Ada seblak, bubur kacang, milk shake, baso daging, baso aci, sate, dawet, martabak, ah banyak pokoknya. Sampai si penjualnya hafal sama apa yang aku pesan, saking seringnya bertandang. Tapi negatifnya adalah bikin isi dompet cepet habis! Sedih.

Sedang menimbang dan memutuskan akan pergi kemana hari ini, dari arah depan satu motor Supra warna merah berhenti tepat di sampingku. Si pengendara membuka helm, menampilkan wajah yang sangat aku kenali.
"Eh, bener Danika. Abis ngapain di sini? Mau nebeng pulang sekalian?" Ucapnya ramah.

"Ah, makasih Ren, tapi aku sendiri aja pulangnya. Ada urusan bentar. Jadi duluan aja." Tolakku halus. Semoga Naren paham deh, masalahnya aku nggak mau cepet pulang ke posko!

"Jauh loh ini dari posko. Nggak apa-apa aku anterin aja. Yuk, mau kemana?" Naren masih keukeuh.

Ih, kesel sih tapi gimana, ya? Kalau nolak lagi nanti Naren bisa ngasih tahu lokasi aku ke mereka. Ya, itu juga kalau ada yang nanyain ke dia sih. Tapi pasti ada dong yang nanya, kan? Fadli lagi gencar nyariin aku.

"Ayo cepet naik! Malah bengong."

Ah, gaes. Naik aja deh, males ribut.

Naren menyalakan mesin setelah aku duduk di belakang, bertanya mau ke mana, yang kujawab asal, "Ke pertigaan depan mau beli minuman."

Kita meluncur di jalan raya, menuju lokasi yang aku sebutkan. Naren tidak banyak bertanya, membuat aku merenung sepanjang jalan.

Kok jadi gini, sih?! Padahal aku pingin sendiri! Tiba-tiba satu pertanyaan muncul di kepala.

"Kamu abis dari mana, Ren? Kok lewat jalan ini?" Aku bertanya agak keras, menghalau deru mesin kendaraan dan angin.

"Aku harusnya tanya itu ke kamu. Ini jalan dari sekolah aku ngajar. Kamu tuh yang jauh-jauh ke sini, cuman buat beli minuman? Niat banget." Ia terkekeh. Aku tepok jidat.

Iya, ya! Ini arah menuju tempat PPL nya. Bego! Danika bego!

Karena aksi melipir ini ketempelan Naren, aku jadi sampai di posko lebih cepat dari biasanya. Setelah beli minuman tadi, pulang adalah tujuan selanjutnya. Tidak ada nongkrong dulu atau berkunjung lagi ketempat lain. Ah, sialan!

REMEANT: DanikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang