Catatan 17

31 3 0
                                    

Setelah perlombaan tahap satu selesai, para panitia bergilir membawa peralatan ke posko, sebagian ada yang ke desa, dan sebagian lagi curi-curi waktu untuk istirahat.

Badanku rasanya remuk, lengket, dan bau matahari. Melihat kamar mandi kosong, aku manfaatkan itu untuk mandi alakadarnya. Ingat, di sini seperti simulasi Padang Mahsyar, panas banget. Gak cocok buat aku yang terbiasa hidup di daerah dingin. Jadi aku selalu butuh kesegaran.

Tidak kurang dari sepuluh menit selesai mandi, aku sudah masuk kamar berganti pakaian. Baju kotor aku pisahkan untuk dicuci besok, dan...benda yang nyaris dua hari ini bertengger di kepala dan selalu membuatku tersenyum--topi baseball hitam milik Irham, aku simpan di dalam ransel.

Selalu ada sensasi menggelitik ketika memori memutar kembali adegan Irham memberiku topi ini, begitu juga dengan tuduhan ucapan Anton, juga Kay tentang Irham. Sungguh...aku ingin itu benar adanya. Tapi bagaimana jika ternyata Irham memang pada dasarnya baik, dan perbuatannya itu bukan hal spesial.

Membuang napas kasar, aku tepis segala keruwetan tentang Irham dan sejenisnya. Hidup lagi enak-enaknya, eh, malah jatuh cinta. Ribet, emang, ah!

Tanganku berhenti membuka ransel ketika satu wafer cokelat dan permen mencuat ke permukaan. Si pengirim makanan misterius yang selalu ada dalam ranselku selama ini belum diketahui. Aku pikir Irham pelakunya, tapi rasanya tidak mungkin. Seharian ini saja dia sibuknya bukan main. Mana sempat menyelundup ke posko, masuk kamar perempuan, dan menyimpan cemilan begini. Dipikir-pikir serem juga ada penyusup ke kamar perempuan. Harus dilaporin ini tuh sebenernya, cuman ini makanannya menggiurkan.

Duh...

Makan aja dulu, deh. Nanti dipikirin lagi.

***

Menjelang magrib anggota posko perlahan berangkat ke lapangan yang ada di balai desa untuk acara Tabligh Akbar. Aku berangkat paling terakhir, padahal Naren sudah wanti-wanti untuk datang tepat waktu.

Sorry to say, Danika dan tepat waktu adalah dua hal yang sedang diusahakan jalan damainya.

Aku datang tepat saat ceramah akan dimulai. Andin melambaikan tangannya saat melihatku.

Gila, dia di barisan depan dan udah nyiapin tempat duduk untukku. Mau menolak juga gak enak, ya kan?

Aku melihat Naren sibuk mengangkat kardus minum, kemudian ikut duduk di barisan Andin. Setelah entah berapa kali aku berkata, "Permisi, ikut lewat," atau, "Maaf ya, mau lewat," akhirnya aku duduk juga dekat Andin.

Namun ya...emang bukan tipe orang yang betah di depan, beberapa menit kemudian aku melipir ke daerah ibu-ibu konsumsi. Dan memang lebih baik menyerahkan tenaga sisa hari ini di daerah yang penuh makanan. Ibu-ibu senang dapat bantuan tambahan, aku pun senang dapat makanan gratisan.

Simbiosis mutualisme.

"Neng, tadi si Aa itu kadieu meuni leuleus, bisi pingsan ih, cik iyeu tawaran deui tuangeun nana." (Neng, tadi Kakak yang itu datang ke sini lemes banget, takut pingsan, coba tawari lagi makanan ini.)

Salah seorang ibu panitia konsumsi menyeretku halus, setelah aku menjejalkan dua lemper ke mulut, ia menunjuk laki-laki di pojokan panggung seraya menyerahkan dua piring makanan dan segelas teh hangat.

Aku menyipitkan pandangan. Emang ada orang di sana? Kesombongan Danika nomor 654782 adalah gak mau pake kacamata padahal matanya udah bolor.

Ibu itu terus memaksaku pergi, dan mau gak mau aku harus nurut, walau deg-degan setengah mampus takut di sana bukan orang.

Aku tersenyum kikuk dan mengambil makanan tadi. Selemes apa sih sampe dikasih sajen dua piring gini? Batinku menggerutu. Perlahan namun pasti, sorot lampu di panggung memberi penerangan temaram, memunculkan sosok samar yang terduduk diam di kursi.

REMEANT: DanikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang