Catatan 8

52 4 6
                                    

Tidak ada rencana signifikan terkait acara Agustusan selama seminggu pasca Fadli terpilih menjadi ketua pelaksana. Tidak ada rapat lanjutan atau informasi tambahan atau grup baru gitu kek? Ya ampun gemes banget sama orang itu! Masalahnya acara bentar lagi. Bulan depan tuh Agustus, gak mungkin langsung loncat ke September!

Aku menghela napas kasar. Fokus teralihkan karena ada notifikasi masuk ke gawai. Dari 'Tempat Sambat!'--mini grup yang dibuat dadakan oleh Andin dengan tujuan mulia, yaitu mengeluarkan segala unek-unek dan sumpah serapah tertahan selama di posko yang makin hari makin menguras emosi, beranggotakan Kaylila, Andin, dan aku-- heboh dengan chat masuk.

[Andin: Plis kalo kalian ketemu Fadli, lari aja. Gak usah ditanggepin. Bahaya!]

[Kay: Kenapa emang Ndin? Dia berulah apa lagi?]

Bi Iyem menyodorkan satu gelas minuman pesananku, jahe hangat, "Ini neng minumnya. Kudu jaga kondisi badan pokoknya mah neng, cuacanya lagi gak bener. Ini juga hujan gak berhenti dari pagi. Kalau mau pulang ambil aja payung yang di situ," Bi Iyem menunjuk sudut warung, "Daripada kedinginan di sini si neng nya."

"Makasih Bi," aku tersenyum dan mengangguk, "Nunggu hujan reda aja deh. Lagian aku males ke posko."

"Ih, aya-aya wae." (Read: "Ada-ada aja.") Katanya sambil lalu, ia kembali menggoreng -entah makanan apa- di dapur. Oh, apa aku sudah memperkenalkan Bi Iyem? Aku rasa belum. Ya kan?

Aku nggak tahu nama asli janda beranak satu itu, tapi dia akrab disapa Bi Iyem oleh warga sekitar, dan Bu Ndut oleh Fadli--karena tubuhnya sedikit gempal. Pemilik warung yang tak jauh dari posko tempat kita bernaung. Warung yang memanjang dengan beranda disulap menjadi tempat duduk ditemani meja yang tersaji segala macam gorengan, di tengahnya kumpulan sayuran dan makanan ringan berbaris rapi, di langit-langit bergelantungan segala macam minuman sachet, pewangi pakaian, sabun, obat nyamuk, bahkan bumbu masakan. Di samping warungnya ada dapur tempat ia menggoreng dan satu ruangan paling belakang adalah tempat ia beristirahat. Warung ini minimalis, namun cukup untuk jadi tempat nongkrong kalau jenuh di posko, atau tempat berteduh ketika hujan mengguyur. Seperti aku saat ini. Terdampar di warung Bi Iyem setelah pulang dari sekolah. Tadi hujan tidak begitu deras, namun ketika ditengah perjalanan, air seperti sengaja ditumpahkan langit. Jadi daripada basah kuyup mending berteduh aja.

Oke, kita baca lagi chat grup 'Tempat Sambat!'

Sudah ada 30 pesan masuk. Edan bukan? Baru aku tinggal beberapa menit sudah bejibun chat nya. Aku menyeruput jahe hangat, lalu mencomot bakwan--maklum ya lapar abis ngajar. Belum sempat aku buka kode layar gawai, suara cempreng orang yang tadi Andin peringatkan di chat terdengar.

"Bu Nduuuut, kopi satu yang biasa." Fadli datang seraya menggibas jaster yang dia pakai untuk menghalau hujan, "Dingin ya ampun, hah!" Dia melangkah masuk, dan so terkejut melihat aku duduk.

"Wuah, pucuk tiba ulam pun cinta. Danika... I searching you dimana-mana you know?"
Lalu mendaratkan bokongnya di kursi berhadapan denganku, dan melahap satu gehu bulat-bulat.

"Pucuk dicinta ulam pun tiba kali yang bener. Ga usah pake bahasa Inggris segala dah, ancur gitu kosa kata."

Ia tergelak mendengar jawabanku, lalu melahap lagi satu bakwan. Mengeluarkan buku kecil dari tas selempangnya, dan menggumamkan namaku.

"Da...ni...ka, sip! Kamu masuk tim acara buat agustusan nanti."

"Hah?! Apaan maen catet segala. Nanya dulu kek, gitu?"

"No, no, no. Aku gak nerima bantahan. Ingat, aku ketuanya."

Bi Iyem menginterupsi, satu gelas kopi pesanan Fadli tersaji di meja, "Tong kopi wae kamu teh! Bisi begang!" (Read: "Jangan minum kopi terus! Nanti kurus!")

REMEANT: DanikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang