Catatan 10

48 2 2
                                    

Suara berisik di dapur membangunkanku dari mimpi ketemuan sama Ilyas. Sialan, mau jalan bareng malah bangun! Aku mencari gawai, menyalakan layar untuk melihat jam. Pukul dua dini hari. Dengan mata masih menyipit, aku melihat sekeliling kamar yang remang, teman-temanku tidak terganggu sama sekali oleh suara itu dan malah tertidur pulas. Menghela napas, aku bangun dari kasur. Resiko punya telinga kelinci gini banget.

Aku membuka pintu kamar perlahan, mengambil sapu lidi yang tergeletak di meja makan. Jaga-jaga kalau sumber suara itu dari binatang atau maling? Aih, semoga bukan yang kedua. Lampu dapur menyala, jika berisik itu berasal dari hewan, nggak mungkin sampe nyalain lampu segala--itu artinya manusia yang berulah. Tapi mana mungkin maling capek-capek nyalain lampu? Lebih oke gelap-gelapan, kan? Atau yang piket posko? Ck, hei!!! Ini terlalu pagi untuk membuat sarapan!!

Langkahku semakin berjinjit, tangan berkeringat dingin, entah kenapa suasana jadi mencekam. Mengeratkan genggaman, aku mengintip dari bukaan dapur siap memukul objek apapun itu. Dan bukan main terkejutnya jantung ini ketika melihat sekeliling ruangan.

"Irham!"

Sapu lidi terbanting entah kemana, kaki sudah berlari menghampiri tubuh ketua posko yang bersandar di bawah kompor gas menyala, air dalam panci di atasnya sudah lumayan mendidih, di sampingnya termos terbuka dan tutupnya tergeletak di bawah rak bumbu, teh dan gula berserakan di lantai dari toples yang roboh, susu kaleng--persediaan kalo males bikin sarapan-- memuntahkan isinya, lumer kemana-mana hingga menetes ke ember tempat penyimpanan beras. Gila! Dapur ini kacau! Tapi lebih kacau lagi Irham, ia begitu payah dan kesakitan.

"Ya ampun, ya ampun, ya ampun, jangan mati!"

Aku panik, buru-buru menggusur Irham menjauh dari kompor--menyandarkan kepalanya dibahuku, keringat dingin dari kening dan pelipisnya bercucuran, napasnya tak teratur, "Irham? Irham?" Panggilku seraya menepuk pipinya pelan.

WOY! DIA NGGAK JAWAB! OMAYGAT! OMAYGAT! DANIKA MIKIR! AYO, HARUS NGAPAIN?!

Irham mengerang halus, "Irham? Bisa berdiri gak? Ham? Irham?"

Tidak ada respon apapun dari semua panggilanku. Ya ampun, gimana ini? Aku juga gak kuat kalo gendong Irham.

"Ni... Ka?"

Akhirnya Irham bersuara, walau lirih nan pelan, "Irham? Irham bisa berdiri?" Aku panggil lagi, namun tak jelas ia berkata apa. Mendekatkan telingaku pada wajahnya, hawa panas dari tubuh Irham menyapu wajahku.

Gila!!! Demamnya berapa derajat ini?

"Wanjir, kalian lagi ngapain heh pagi buta begini!"

Aku tersentak, hampir menjatuhkan Irham ketika mendengar suara laki-laki dari ambang pintu. Kami saling melotot. Dia kaget lihat aku. Aku kaget denger suara dia.

"ADIT!!!! CEPET SINI! IRHAM SEKARAT!"

"HAH?! SERIUS?!"

Panik menjalar menggantikan ekspresi terkejut tadi di wajahnya. Adit berlari menghampiri, menempelkan telunjuknya di antara hidung dan bibir Irham, "Anjir, masih napas ini mah!"

"Ya maksudnya, kalau cuman diliatin doang bakal sekarat."

"Euuuuh, semprul!"

"Kan emang bener."

Erangan Irham menghentikan debat tak penting kami. Membuat Adit kembali panik, tangannya terulur menyentuh kening Irham, "Buset, goreng telor ceplok bisa tuh di jidat!"

Aku menggeplak bahunya, "Ngadi-ngadi! Cepet bawa dia ke kamar!"

Air dalam panci meletup tumpah ruah ke kompor, menimbulkan suara percikan air beradu dengan panas besi sehingga apinya berubah warna.
"Cepet! Aku beresin dapur!"

REMEANT: DanikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang