Lagi-lagi langit Purwakarta mendung, walau jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Layar gawai masih menampilkan room chat dengan Rahma, pesan-pesan jawaban dari curhat yang aku utarakan padanya sedikit membuat kesal. Bagaimana tidak, pendapatnya benar sedangkan sikapku yang kekanakan dan egois ini ingin mendapatkan 'kemenangan' atau mungkin 'dukungan' tapi harus kandas oleh pendapatnya. Itulah yang membuat kesal, rasanya seperti tidak tahu diri. Harusnya aku nggak kayak gitu, sekarang jadi memalukan, aku nggak sanggup lihat wajah Irham.
Tapi ada hal yang Rahma nggak tahu, setelah insiden membentak itu Irham akhirnya ngasih lotion anti nyamuknya walau pake perantara Naren. Lupa kalo tanganku gatal, rasa kesal lebih mendominasi saat itu. Untung saja aku masih bisa tahan emosi.
"CK! NGASIH LANGSUNG KEK! PAKE NGEBENTAK DULU!! NITIP LAGI!"
Makian itu tertahan di lidah dan aku hanya bisa diam melihat punggung Naren menghilang memasuki ruang tengah. Irham aneh, fiks!
"Neng nggak bawa payung? Hujannya lumayan deres."
Satpam sekolah tempat aku melaksanakan PPL menghampiriku, Abah sapaannya. Seorang kakek yang masih kuat bekerja, tak heran tubuhnya sehat walau sudah keriput.
"Nggak, lupa nggak dibawa tadi. Aku neduh di sini dulu deh, sekalian nemenin Abah." Aku menaik turunkan alis, menggoda kakek satu ini jadi hiburan tersendiri.
"Aduh si Neng mah, Abah jadi sumanget ari kitu teh!" ("Abah jadi semangat kalo kayak gitu!")
Dan Abah itu suka bercanda, nyambung lagi sama obrolan anak muda. Mungkin karena pekerjaannya yang sudah dilakoni bertahun-tahun di SMA ini.
"Temen-temen Neng masih di kelas?" Abah bertanya lagi.
"Nggak, mereka mah udah pada pulang. Ada yang hujan-hujanan malah."
Untuk menjalankan PPL kita membentuk kelompok baru lagi, karena jenjang sekolah yang mengizinkan berbeda-beda. Saat keluar kelas tadi ada si Hidar, tapi katanya dia ingin menikmati air dari langit setelah berjuang mencerdaskan anak bangsa. Sinting, emang!
Dia mengajar Bahasa Jerman, siswi-siswi di sini banyak yang suka padanya. Karena itulah ia selalu membanggakan diri jika mengetahui penggemarnya bertambah dari penggemar Irham. Iya, aku satu kelompok dengan Irham juga di sini. Uji nyali sekali, kan? Untung saja jadwal mengajarku tak beririsan dengannya.
Hidar dan Irham adalah dua guru muda yang membuat setengah populasi siswa perempuan menjerit lantang, dan setengahnya lagi menganga takjub di hari Senin pagi saat pengumuman selesai upacara bendera sekaligus memperkenalkan kami. Maka dari sana lah kompetisi aneh itu dimulai.
Jika dibanding Irham, Hidar lebih ramah pada siswa, senyumnya tak pernah luntur sehingga ceruk kecil di kedua pipinya selalu muncul. Dia tahu apa pesona wajahnya, tidak heran jika gosip yang beredar menyebut Hidar memiliki banyak gebetan.
Namun aku yakin jika siswi-siswi itu tahu kalau Hidar beda keyakinan, Irham akan keluar sebagai juara dengan penggemar terbanyak. Jika dijadikan judul sinetron mungkin seperti ini, "Cinta kita seamin namun tak seiman."
Dan begitulah sampai akhirnya hari ini aku berteduh di pos gerbang dengan Abah. Males pulang ke posko juga, sih. Males ketemu Irham, kebayang awkward aja gitu. Walau aku merasa bersalah juga. Dikit.
"Nih, neng teh angetnya diminum," segelas teh yang masih mengepulkan uap beraroma melati Abah sodorkan padaku setelah tadi ia pamit pergi sebentar.
"Ya ampun Abah, jadi ngerepotin deh. Tadi tuh pesen minuman toh." Aku tersenyum, lalu menerima gelas dari Abah, hangat seketika menjalar mengisi sela-sela jari.

KAMU SEDANG MEMBACA
REMEANT: Danika
DiversosNamanya Danika Hisyam, cewek, doyan banget rebahan, gak suka cari ribut, tapi bisa berguna bagi Nusa dan Bangsa kalo gak dipaksa. Rada galak, gak tahu malu -lebih sering malu-maluin sebenernya, deket sama Rahma, dan ngerasain rindu berlebih ke sahab...