Perang dingin pasca rapat terakhir di ruang tengah masih terasa sampai sekarang, H-1 acara! Gila, kan?!
Selamatkan acara PPL Danika ya Allah...
Tapi harus aku acungi jempol untuk totalitas kerjanya. Semua berjalan sesuai rencana, hanya saja kurang akrab. Kalau dulu mungkin masih bisa tertawa atau saling sapa ketika papasan, sekarang jarang terjadi. Kumpul dan mengeluarkan suara jika diperlukan mengenai pekerjaan, sisanya hidup masing-masing.
Canggung dan kekanakan banget.
Sebagai orang yang (berusaha) paling netral alias tidak memihak kubu manapun, aku ingin mereka baikan. Tapi nihil. Jadi ya udahlah, bodo amat!
Satu hal yang menarik di kejadian ini, timku semakin akrab. Aku dan Komala contohnya. Kita jadi sering pergi bareng (karena tugas) dan aku jadi punya pandangan lain terhadapnya. Dulu aku gak mau deket-deket sama Komala karena omongannya ceplas-ceplos, atau bahkan terkesan galak, tapi sekarang aku paham dibalik itu semua dia perhatian. Meski ya... Nada bicaranya tetep ketus. But, it's oke. Buktinya dia tahu aku gak suka makan bawang dan pernah bikinin nasi goreng tanpa bawang hanya untuk Danika. Terharu parah!
Tapi sampai sekarang aku belum tahu kenapa dia benci sama Irham.
Entahlah, pokoknya aku bisa bekerja dengan baik bareng Komala. Kalau Naren gak usah ditanya. Diteror terus aku tuh. Dikit-dikit, "Dani laporannya..."
"Dani kita izin pinjem barang ke anu..."
"Dani harus itu..."
"Dani harus ini..."
Ah, jengah!
Hari ini aku baru saja belanja makanan ringan untuk orang-orang yang bertugas menghias lapangan perlombaan sekaligus mengatur posisi tempat lomba.
Gawaiku berdering, tanda panggilan masuk. Dari Komala.
"Halo, kenapa Mal?"
"[Hai, Dani ini sorry banget, si Naren bakal lama deh kayaknya di sini. Soalnya ada peserta yang daftar pingin nambah lomba.]"
"Oh, it's oke. Take your time."
"[Thanks, Dan. Nanti gue beliin Lo es krim!]"
"Wajib banget itu maaah! Awas ya kalo lupa!"
Suara kekehan di sebrang sana membuat bibirku terangkat ke atas. See? Hubungan aku dengan Komala sudah jauh lebih baik. Telpon terputus dan aku lanjutkan melangkah.
Memang ini harusnya tugas Naren tapi Komala memintanya untuk membantu mendata ulang peserta lomba. Kay dan Andin menjadi perwakilan 'tenaga' dari kami untuk acara tabligh Akbar di Desa. Sisanya tinggal di posko membuat pernak-pernik hiasan lapangan. Aku yang tadinya gak mood di posko dengan kubu-kubu perang dingin, tersulut semangat saat Naren memintaku ke lapangan.
Oh, iya lupa. Kubu perang dingin yang aku maksud, adalah kubu yang terbentuk setelah insiden rapat dramatis itu. Kubu ini terbagi menjadi dua. Kubu bela Irham dan kubu benci Irham. Fadli sama sekali gak ada yang bela. Ah, emang di mata mereka cuman ada Irham. Sisanya seperti aku, kaum netral yang gak enak bernapas di antara dua kubu itu.
Lapangan sudah terlihat, pohon beringin rindang di pinggirnya melambai tertiup angin, suara linggis berbentur tanah pun terdengar, aku bergegas mendekat. Namun di sana hanya ada Anton dan Adit.
"Loh katanya ada bapak-bapak yang bantuin, kok cuma berdua doang?"
Adit terperanjat mendengar suaraku. Lebay tapi lucu, aku sedikit menahan tawa. Meski begitu dia menjelaskan situasi dan kondisi, Anton sesekali menambahkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
REMEANT: Danika
CasualeNamanya Danika Hisyam, cewek, doyan banget rebahan, gak suka cari ribut, tapi bisa berguna bagi Nusa dan Bangsa kalo gak dipaksa. Rada galak, gak tahu malu -lebih sering malu-maluin sebenernya, deket sama Rahma, dan ngerasain rindu berlebih ke sahab...