Part 1

18.8K 618 42
                                    

"Mei, ini baju Mas kok masih kusut, sih? Nggak kamu setrika?" Mas Arya muncul dari dalam kamar. Di tangannya, tersampir sehelai kemeja putih bergaris horizontal yang memang dalam keadaan masih kusut.

"Oh iya, Mas. Maaf. Mei belum sempat nyetrika, Valetta rewel sekali kemarin. Nggak mau lepas, maunya digendong terus," jawabku memberi alasan yang sebenarnya.

Mas Arya mendengkus. Tergambar kekesalan pada wajah bersih yang tampaknya habis bercukur itu.

"Kan bisa kamu titipin ke ibu?" ujarnya. Tampak masih tak puas dengan alasan yang kukemukakan barusan.

"Ibu darah tingginya lagi kambuh, Mas. Memang kuminta beliau beristirahat, jadi aku seharian full ngurusin Letta." Kutatap wajah mas Arya, berharap ia juga melihat gurat lelah di wajah ini, lalu memberi pengertian sedikit saja pada kelalaianku kali ini.

"Baju yang lain kan banyak, Mas. Yang udah kusetrika. Ada kan, di lemari?" ucapku lagi.

"Tapi Mas maunya pakai yang ini, Mei. Hari ini Mas ada meeting sama calon client perusahaan, dan baju ini yang Mas anggap paling sesuai untuk dipakai. Citra dari seorang wakil perusahaan kan juga berpengaruh dalam meyakinkan calon client." Mas Arya berkata. Nada suaranya terdengar kesal.

Aku menghela napas berat. Tak mengerti dengan jalan pikiran Mas Arya yang bisa dibilang ribet.

"Ya sudah sini, biar Mei setrika bajunya yang mau Mas pakai itu." Aku berdiri, menjulurkan tangan untuk meraih kemeja ditangannya. Namun tanpa kuduga, ia justru menepis tanganku dengan kasar.

"Udah nggak usah! Biar kusetrika sendiri!" tukasnya tajam. Ia lalu berbalik kembali ke kamar. Samar kudengar ia berkata, 'percuma saja diurus dan dikasih nafkah kalau hal begini saja masih aku yang harus mengerjakan!'

Astaghfirullah ....

***

"Mas, uang bulanan yang Mas transfer kok cuma 2 juta?" Aku bertanya pada mas Arya yang sedang asik bermain dengan Valetta, bayi kami yang berusia delapan bulan, ketika selesai mengecek mutasi rekening pada aplikasi mobile banking-ku.

"Memangnya kenapa? Kurang?" sahut mas Arya dengan wajah dingin.

"Biasanya kan lebih, Mas. Aku tahu loh, gaji kamu berapa, Mas. Dan dua juta ini nggak ada seperlima gaji kamu, Mas." Aku menyuarakan protes.

"Kamu ini, dikasih segitu nggak ada bersyukurnya jadi istri. Kemarin aku kasih uang banyak juga percuma."

"Loh, percuma kenapa, Mas?" tanyaku bingung.

"Ya percuma, lah. Baju kerja juga aku yang nyetrika sendiri."

"Ya Allah Mas ... cuma karena masalah itu? Kan aku sudah kasih alasannya ...." Aku merasa lemas hingga kedua bahuku terkulai mendengar jawaban mas Arya.

"Kamu aja yang gak pinter bagi waktu, Mei. Pas si adek tidur kan, kamu bisa ngerjainnya. Jadi anak rewel menurutku nggak bisa kamu jadikan alasan."

Mas Arya bangkit dan berjalan keluar. Tak lama, terdengar deru mesin mobil dinyalakan, lalu menderum pelan dan suaranya makin menjauh pergi.

Tinggal lah aku berdua Valetta di sini. Aku kemudian duduk menggantikan mas Arya mengasuh Valetta. Tapi pikiranku kemana-mana. Memikirkan uang dua juta yang dijatah mas Arya. Bagaimana aku bisa menutup biaya pengeluaran dengan uang segini?

Bukannya aku tidak bersyukur dengan rejeki yang kuterima. Tapi sungguh, tanggunganku cukup berat karena harus membiayai kuliah adikku, juga membiayai pengobatan rutin ibu untuk terapi sebulan sekali. Sedang ayahku telah lama tiada. Ibu dan Lany adikku, hanya bergantung padaku saat ini.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang