"Hah? Piiisaahhh?" Serentak Arin dan Rosi bersuara setelah kuceritakan masalah antara aku dan mas Arya.
Aku mengangguk. Mencoba terlihat tegar dengan mengukir senyum di wajah. Tapi aku tahu tak kan mudah membohongi mereka berdua.
Sudah berbilang tahun kami menjadi sahabat, tentunya mereka bisa turut merasakan bahwa aku tak sedang baik-baik saja.
"Jadi karena itu lo berniat buat balik kerja lagi, Mei?" Wajah Rosi penuh keprihatinan saat menanyakan itu padaku.
"Iya, Ros. Praktis, sekarang aku kembali menjadi tulang punggung bagi keluargaku. Apalagi sekarang sudah ada Letta," uraiku. Kuaduk-aduk es teh dalam gelas dengan menggunakan sedotan.
"Sudah ... kalian jangan ikutan sedih gitu, dong. Gue kuat, kok. Gue akan baik-baik aja. Doain gue keterima kerja, ya? Jangankan pak Farhan si beruang kutub, ditantang suruh ngosek gigi buaya juga berani gue asal bisa menghasilkan."
Aku berusaha mencairkan suasana dengan melontar jokes agar mood kami semua kembali membaik.
"Mei, emangnya nggak mungkin gitu, lo sama Arya rujuk lagi? Nggak kasihan sama anak atau apa gitu, Mei? Sorry kalau gue terkesan sok menggurui, tapi gimana ya ...." Arin menggantung ucapannya sambil menggaruk-garuk puncak kepalanya yang tak gatal.
Aku menarik nafas dalam, mengingat kejadian di dalam lift di kantor tadi. Aku tersenyum kecut mengingat ekspresi wajah mas Arya yang seakan sedang tertangkap basah. Dia yang tadinya begitu ingin menjatuhkan mentalku sebelum kemunculan perempuan itu, mendadak berubah seperti singa yang kehilangan taringnya. Singa ompong.
"Iya, Mei. Kalau bisa diperbaiki kenapa enggak? Kalian tuh serasi banget loh. Arya ganteng, dan lo juga cantik. Yaah ... meskipun masih belom bisa mengalahkan kecantikan gue, sih," seloroh Rosi yang mengundang senyuman dengan kalimat terakhirnya.
"Gue tadi ketemu mas Arya di lift pas turun ke loby." Ucapanku seketika menimbulkan rasa ingin tahu di wajah kedua temanku.
"Kok diam? Terus gimana, Mei?" tanya Arin tak sabar saat aku justru diam menunggu reaksi mereka.
Aku tersenyum lebar dengan maksud menggoda mereka berdua. Gemas rasanya melihat tingkah mereka jika sudah terserang kepo akut.
"Sleding nih kalo nggak cerita!" ancam Rosi sambil pura-pura mengangkat gelas es di hadapannya.
"Bar-bar banget sih lo, Ros? Meira tuh nggak bisa dikasarin. Ya kan, Mei? Yok cerita sama gue aja." ucap Arin yang langsung mendapat hadiah toyoran di kepalanya dari Rosi.
"Pengkhianat lo. Mau denger sendirian." cetus Rosi, membuat Arin terbahak keras.
"Atau jangan-jangan, lo berdua rujuk pas di dalem lift? Arya akhirnya menyadari kalau dia nggak mau kehilangan istri secantik dan sebaik elo terus akhirnya minta maaf dan memohon supaya bisa diterima kembali. Gitu gak sih, Mei?" Arin menerka sembari menggaruk-garuk kepalanya.
"Boro-boro," sahutku cepat, tak dapat kututupi hati yang kecewa. Kuaduk pelan es batu dalam gelas es yang perlahan mulai mencair, mencemari rasa manisnya hingga terasa tawar. Seperti rasaku terhadap mas Arya kini.
"Kenapa, Mei? Kok jadi sedih gitu? Arya gak mau minta maaf ya?" Arin bertanya.
"Lebih dari itu, Rin. Aku, mas Arya, berada satu lift dengan perempuan yang ternyata pacar mas Arya."
Rosi yang tengah menyesap minumannya langsung terbatuk-batuk keras dan panjang hingga wajahnya memerah seperti udang rebus. Hal itu membuatku juga Arin sibuk membantu Rosi dengan menepuk-nepuk punggungnya, tujuannya agar batuk Rosi mereda.
Namun hingga beberapa saat, teman kami itu masih saja terus terbatuk dan meja kami akhirnya menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung resto yang lain.
"Uhukkk ... uhukkk ... brengskkk si Arya ... uhukk uhukkk!" terbata kalimat Rosi ditengah badai batuk yang menyerangnya.
"Tenang dulu Ros, tenang dulu. Nih minum." Arin menyodorkan air mineral dan segera disambut oleh Rosi yang langsung menenggaknya.
Rosi sedikit kesulitan bernafas. Namun setelah lewat beberapa detik, nafasnya kembali berangsur normal. Kulit wajahnya yang tadi merah pun mulai kembali ke warna aslinya.
Tiba-tiba Rosi menggebrak meja yang ada di tengah-tengah kami dengan kedua telapak tangannya. Tentu saja aku dan Arin terkejut. Kompak kami berdua menatap Rosi yang sepertinya masih emosi.
"Gue emang udah curiga dari beberapa minggu lalu. Sejak ada karyawan baru di bagian produksi, tu cewek emang keliatan lengket sama Arya."
Giliran aku yang shock hingga terpelongo mendengar pengakuan Rosi yang mencengangkan.
"Hah? Masa? Kok lo diem aja? Napa gak cerita ke gue?" Arin menghujani Rosi dengan pertanyaan.
"Gue udah pernah tanya langsung ke Arya tentang itu cewek. Tapi waktu itu Arya ngakunya cewek tersebut adalah sepupunya. Gue emang gak langsung percaya gitu aja, soalnya buat ukuran 'sodara sepupu' rasanya terlalu ganjil. Gak lazim lah pokoknya," jelas Rosi panjang.
Rosi menatapku, tampak menyesal karena 'pembiaran' yang telah ia lakukan.
"Oh my Gosh ...." Arin menatap tak percaya pada Rosi.
"Mei, yang lo lihat tadi di lift cewek rambut panjang sebahu, kan? Agak ikal dan di cat warna agak-agak blonde, kan?" Rosi melempar tanya, dan aku mengangguk karena ciri-ciri yang barusan disebut Rosi memang benar seperti perempuan yang kutemui dalam lift tadi.
"Ya ampun Meira ... sabar, ya? Lo pasti sakit banget ya bisa ketemu mereka berdua kayak gitu." Arin menggenggam tanganku. Matanya menunjukkan rasa iba sekaligus tak percaya.
Hatiku memang sakit, dan sekarang bertambah nyerinya karena ternyata bukan aku orang pertama yang mengetahui perselingkuhan suamiku di kantornya.
"Kalo gue jadi lo Mei, bakal gue arak tu orang bedua biar seluruh orang-orang di kantor pada tau. Biar dipecat sekalian dua-duanya! Emosi gue!" Rosi berseru marah.
"Buat apa? Gue juga akan ikut malu kalau sampai melakukan hal itu, Ros. Mau ditaroh dimana muka gue nanti?" sahutku lalu membuang muka.
"Duh ... lo sabar banget sih, Mei? Gue jadi mau nangis ini. Gak nyangka ih si Arya ternyata buaya! Dan yang jadi pasangan mesumnya juga, sama aja nggak tau malu. Laki-laki beristri diembat juga. Sama-sama gatel!" Sumpah serapah merepet keluar dari mulut Arin.
"Tapi bagaimana kalau perempuan itu ternyata sebenarnya nggak tau kalau mas Arya udah punya anak dan istri?" tebakku tiba-tiba.
"Ya nggak mungkin lah, Mei! Lo naif banget sih jadi orang. Emangnya Arya nggak pernah pakai cincin nikah kalian? Terus, kalo emang tuh perempuan nggak tau kalau ternyata cemcemannya udah punya bini, apa dia nggak pernah curiga kenapa si Arya nggak pernah ngenalin dia ke keluarganya?" bantah Rosi cepat.
Kupikir-pikir, yang dikatakan oleh temanku ini benar juga. Mas Arya selalu memakai cincin pernikahan kami kemana pun. Ia jarang sekali melepasnya terkecuali hendak tidur atau mandi.
Pikiranku melayang, menyadari betapa rapi mas Arya menyembunyikan semua ini hingga perselingkuhannya tak terendus olehku sama sekali. Atau kah aku yang terlalu percaya padanya hingga rasaku tak lagi peka dengan hal-hal seperti itu?
Kugeleng-gelengkan kepala menyadari kebodohanku sendiri selama ini. Sementara di rumah aku berupaya menjadi istri yang sempurna, namun di luar sana suamiku ternyata bermain gila.
Aku yakin, inilah yang sebenarnya mendasari perubahan sikap suamiku. Bukan semata karena ia terbebani karena harus menghidupi keluargaku.
Mas Arya telah jenuh berlayar bersama, dan ingin bertukar arah dengan menahkodai kapal lainnya. Meninggalkanku terombang-ambing sendirian menghadapi ganasnya badai yang menghantam dari segala sisi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
RomanceJika pernikahan yang dijalani hanya menghadirkan luka bagi salah satu pihak saja, maka bisa saja kebahagiaan bisa teraih setelah berpisah.