Part 6

6.7K 454 1
                                    

Tak kukatakan pada siapa pun mengenai 'temuanku' saat membereskan barang-barang milik mas Arya. Tapi aku juga tak bodoh.

Mengingat sikap mertuaku yang akan selalu membela anaknya tak peduli salah atau benar, aku merasa suatu hari akan memerlukan barang-barang ini sebagai bukti.

Entah nanti akan terpakai atau tidak, yang penting kusimpan saja dulu. Siapa tahu nanti diperlukan. Di depan ibu serta Lany aku bersikap seperti biasa.

Dua hari setelah aku mengirim CV, Arin kembali menghubungi untuk mengabarkan bahwa besok adalah jadwal interview-ku langsung dengan pak Farhan. Kusambut kabar itu dengan suka cita, lalu berdoa supaya aku bisa melewatinya tanpa kendala.

****

"Mei berangkat dulu ya, Bu. Titip Letta sebentar, minta doanya juga." Kucium punggung tangan ibu takzim. Tangan yang sedari kecil selalu menjadi pegangan dalam kondisi apa pun.

"Hati-hati, Mei," pesan ibu. Aku mengangguk sebelum melangkah keluar pintu. Driver ojek online pesananku telah menunggu di depan pagar.

Diangsurkannya sebuah helm ke arahku sebelum aku naik diboncengan belakang. Sepanjang jalan aku tak putus berdoa agar segala urusan dimudahkan. Ini menyangkut masa depan kami semua. Karena jujur, aku tak yakin harus melamar kerja kemana jika sampai aku ditolak kali ini.

Setelah kurang lebih dua puluh menit perjalanan, menembus kemacetan di sana sini, akhirnya kami sampai juga di depan sebuah gedung perkantoran yang terdiri atas dua puluh lantai.

Dulu, di tempat ini aku pernah bekerja. Dan di tempat ini pula pertama kali aku bertemu mas Arya, lelaki yang berhasil meyakinkanku untuk menjadikannya sandaran. Namun dia juga yang memutuskan pergi.

Kuangsurkan kembali helm yang kupakai kepada driver ojol seraya mengucap terima kasih.

Berjalan santai melewati halaman kantor yang luas, kemudian menapaki beberapa anak tangga sebelum mencapai pintu kaca yang menjadi pintu utama gedung kantor.

Seorang satpam menyambut kemudia menanyakan tujuan kedatanganku. Ketika kujelaskan, ia pun mempersilahkan aku untuk masuk.

Hawa sejuk yang menguar dari pendingin ruangan yang menyala serasa air segar yang mengguyur tubuh setelah tersengat panasnya terik matahari di luar sana.

Meski pernah bekerja di gedung ini, tapi aku belum tahu dimana tepatnya ruangan pak Farhan yang akan meng-interview ku hari ini. Sambil berdiri menunggu lift, kurogoh ponsel dalam tas pundak yang kupakai. Aku akan menghubungi Arin untuk menanyakan dimana tepatnya ruang interview bersama calon bossku tersebut.

"Halo, Rin? Gue udah sampai nih. Ruang pak boss dimana, ya?" ucapku begitu Arin menjawab panggilan telepon pada deringan ke tiga.

"Lo dimana sekarang, Mei?"

"Masih di area lobby, sih. Depan lift."

"Lo naik ke lantai sepuluh, ya. Entar lo tanya aja ruang pak Farhan ke staf di sana," jelas Arin.

"Oke, Rin. Wish me luck, ya?"

"Sure, Mei. Kabarin kalo lo dah selesai, ya? Kita ketemu di bawah."

"Oke, Rin. Gue naik dulu. See u."

Pintu lift terbuka tepat pada saat aku menututup telepon. Mengucapkan bismillah dalam hati, kulangkahkan kaki kanan terlebih dahulu memasuki lift yang akan membawaku ke lantai 10.

Tring!

Pintu lift membuka. Aku keluar perlahan sambil celingukan mencari-cari seseorang yang bisa kutanyai dimana ruangan pak Farhan.

"Meira!"

Sebuah seruan yang menyebut namaku barusan, nyaris membuatku terlonjak. Hampir putus rasanya jantung di saat nervous begini aku malah dikagetkan begitu.

"Rosi!"

Kekesalanku seketika menguap ketika melihat Rosi, salah satu sahabatku lainnya ketika bekerja dulu. Rosi segera menghambur dan menarikku dalam pelukan.

"Apa kabar lo? Lama nggak kelihatan?" tanyanya sambil mengamatiku setelah Rosi melepas pelukannya. Aku tersenyum lebar, senang sekali rasanya bisa bertemu Rosi di sini.

"Gue baik, Ros. Lo sendiri?" Aku bertanya balik.

"Gue juga baek, Shay. Betewe, lo ngapain sampe kesasar di sini? Bagian Arya kan di lantai sembilan, Nek?"

Ah, lagi-lagi nama mas Arya disebut. Aku bingung harus bagaimana merespon pertanyaan Rosi, belum lagi Arin kemarin. Tapi untuk sekarang aku belum bisa menjelaskan situasi sebenarnya pada teman-temanku.

"Ehm ... Ros, gue ke sini mau ketemu sama pak Farhan. Hari ini ada janji interview sama dia," jelasku pada Rosi tentang kenapa aku berada di sini sekarang ini.

Mulut Rosi langsung membentuk huruf O dengan mata membulat lebar pula.

"Oh my Gosh! Lo ada interview sama pak Farhan? Kok bisa, Nek?" ucapnya setelah menguasai rasa kagetnya.

"Ros, bisa lo tunjukin dulu nggak dimana ruangan beliau? Gue udah hampir telat, nih. Kelar interview gue jelasin. Okey?"

Rosi langsung mengangguk. Kemudian dengan berjalan agak cepat dia menarikku menyusuri lorong yang jadi penghubung antar ruangan.

"Noh, yang di ujung itu, ruangannya, Mei." Tunjuk Rosi pada sebuah ruangan berpintu coklat mahogani yang terletak paling ujung. Aku mengangguk pada Rosi.

"Thanks ya, Ros," ucapku penuh rasa terima kasih pada sahabat lamaku itu.

Namun saat aku hendak mengayunkan langkah menuju ruangan yang akan menjadi tempat penentu keberuntunganku hari ini, tangan Rosi tiba-tiba mencekal tanganku. Aku kaget dan menoleh.

"Banyak doa lo, yang bakal lo hadapi itu beruang kutub." Usai berkata begitu, Rosi tertawa cekikikan. Aku mendengkus antara kesal dan lucu karena ulah Rosi.

Tanpa menoleh lagi ke belakang, kuayunkan langkah setapak demi setapak menuju ruangan pak Farhan.

Tok tok tok!

Kuketuk pintu dengan pelan. Beberapa saat masih hening, aku mulai gelisah. Ragu antara mau mengetuk lagi atau menunggu saja.

Ya ampun ... kenapa aku jadi gelisah begini? Apa aku mulai terpengaruh oleh ucapan Arin dan Rosi mengenai pak Farhan yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya itu?

Hfftt ... tenang, Mei, tenang. U will gonna make it, Mei, you will gonna.

Aku mensugesti diri sendiri agar bisa selamat dari hantaman panic attack yang mendadak muncul.

Baru akan hendak mengetuk pintunya kembali, sebuah suara terdengar dari dalam.

"Masuk!"

Fiuh ... lega. Perlahan kutekan handel pintu hingga daun pintu di depanku itu terbuka dan menampakkan sedikit pemandangan di dalam ruangan yang didominasi warna krem dan putih tersebut.

Aku melangkah masuk, seorang pria terlihat sedang duduk di balik sebuah meja kerja. Kami berpandangan. Tatapan pria itu mengunci kedua netraku.

Dan ... detik itu juga jantungku rasanya merosot hingga ke kaki. Dia, orang yang mengantarkan aku dan dan Lany membawa Letta ke rumah sakit malam tadi.

Orang yang kami duga sebagai driver taksi online malam itu, ternyata adalah seorang CEO yang akan menginterview-ku hari ini. Kaki ini tiba-tiba lemas, hampir tak kuat menopang tubuhku sendiri.

"Silahkan duduk," ucapnya mempersilahkan. Dengan langkah gemetar, aku menggeser sebuah kursi yang terletak berseberangan dengan pria itu.

Entah dia bisa membaca kegugupanku atau tidak, tapi yang jelas apa yang dikatakan Arin dan Rosi tentang orang ini memang benar adanya.

"Anda ke sini untuk interview atau hanya untuk memandangi saya seperti melihat hantu?"

Tak ada kesan ramah dari ucapannya yang keluar, sekalipun jika itu dimaksudkan sebagai candaan..

"Eh ... maaf Pak," ucapku pelan, kemudian menarik nafas untuk melonggarkan dada yang terasa sesak.

"Silahkan mulai perkenalkan diri anda," ucapnya. Lagi-lagi dengan nada tak ramah juga kaku.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang