Part 17

6.8K 482 4
                                    

"Meira!" Suara pak Farhan terdengar memanggilku. Kutinggalkan Linda untuk segera memenuhi panggilan atasanku itu.

"Ya, Pak," ucapku saat sudah berdiri di depannya. Pak Farhan masih tampak gusar. Sisa-sisa kemarahannya masih terlihat meski samar karena ekspresi wajahnya kembali datar seperti biasanya.

"Lain kali kalau perempuan tadi datang lagi dan saya tidak ada di tempat, silahkan kamu call security untuk mengusir dia dari sini." Pak Farhan berkata dengan raut wajah tegas dan sungguh-sungguh. Agak keder juga aku melihatnya begitu.

"Kamu paham dengan apa yang saya katakan tadi?" Ia bertanya seperti seorang guru matematika killer kepada muridnya. Aku mengangguk cepat, tak ingin memperparah suasana hatinya yang sedang buruk.

"Iya, Pak. Mengerti." Aku menjawabnya. Pak Farhan lalu menyuruhku kembali ke meja kerja dengan isyarat gerakan kepalanya.

Selanjutnya kembali hening. Aku merasa suasana yang tadinya membosankan kini berubah jadi mencekam. Makin parah ini. Di dalam hati aku jadi merasa frustasi, menunggu jam pulang yang rasanya lama sekali.

"Kamu kalau lagi nggak ada kerjaan, boleh bantu saya ketik ini?" perintah pak Farhan barusan bagai nyanyian merdu di telinga. Ini yang aku tunggu-tunggu. Aku lebih baik diberi setumpuk pekerjaan daripada bengong karena tak tahu apa lagi yang harus dikerjakan. Setidaknya aku bisa membunuh rasa bosan yang kurasakan dengan menenggelamkan diri dalam tumpukan pekerjaan.

Kulihat pak Farhan menyodorkan beberapa lembar berkas ke arahku. Aku pun bergegas berjalan ke mejanya untuk mengambil berkas tersebut.

"Meira," panggilan pak Farhan membuat langkahku urung untuk kembali ke meja kerja.

"Ya, Pak?" sahutku sopan.

Sesaat lelaki dengan garis wajah tegas itu seperti ragu-ragu meneruskan kalimat. Membuatku jadi bertanya-tanya apa gerangan yang hendak ditugaskannya lagi padaku.

"Saya minta maaf atas kejadian tadi. Kamu nggak terluka, kan? Lisa memang kasar orangnya." Wajah pak Farhan berubah muram saat membicarakan perangai istrinya yang memang kasar itu. Tapi lebih dari itu semua, aku rasanya hampir tak percaya dengan kalimat pak Farhan yang bernada perhatian itu.

Tak kusangka ia juga memikirkanku yang nyaris jadi korban kebrutalan Lisa istrinya. Ternyata, ia tak sedingin kelihatannya. Masih ada sisi humanisme dalam dirinya meski selalu tertutupi oleh pembawaannya yang serius dan juga kaku.

"Enggak, Pak. Saya nggak apa-apa. Saya permisi dulu, Pak."

Pak Farhan menganggukkan kepalanya dan aku pun kembali ke mejaku untuk mengerjakan tugas yang diberikannya tadi.

****

"Meira, tunggu!"

Seseorang memanggilku, membuatku terpaksa menghentikan langkah yang sudah hampir mencapai sisi luar bangunan gedung.

Sedikit terkejut karena ternyata orang yang memanggilku itu ternyata adalah Renita. Orang terakhir dalam daftar orang-orang yang ingin kutemui.

Rambutnya yang berwarna sedikit kemerahan itu menjadi ciri khasnya karena tak ada karyawan lain yang mewarnai rambutnya dengan warna yang sama.

"Ada apa?" tanyaku begitu jarak di antara kami sudah semakin pendek. Tak ada waktu berbasa-basi, karena aku ingin cepat sampai di rumah, ingin cepat berjumpa dengan Valetta yang sudah seharian ini kutinggal kerja.

Renita mengurai senyum di bibirnya yang dihiasi dengan gincu berwarna merah. Tapi aku tahu di balik senyuman itu tidak mengandung makna yang tulus. Entah apa maunya, kutunggu saja apa tujuan perempun ini mengajakku berbicara pada hari yang sudah di penghujung senja.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang