"Mau makan di mana kita?" Rosi melempar tanya saat kami bertiga bersama Arin bertemu saat istirahat makan siang.
"Steak aja yok," usul Arin yang memang sangat doyan terhadap jenis makanan yang satu itu. Aku mengeluh spontan karena bisa memperkirakan berapa harga seporsi steak di sebuah restoran.
"Maaf, bisa yang murah meriah aja dulu nggak untuk kali ini?" ucapku sambil menatap tak nyaman pada keduanya.
"Boleh, kok. Nggak masalah. Makan di kantin juga oke," sahut Rosi
mantap
sambil menyikut lengan Arin samar.
"Oohh. Iya, gue juga sama. Makan di mana aja hayuk!" gagap Arin.
Kalau sudah begini jadi aku yang tak enak terhadap keduanya. Aku tak mau Arin dan Rosi terpaksa mengikutiku demi solidaritas, dan kesusahanku turut membelenggu kesenangan mereka.
"Rosi, Arin, lo berdua jangan ngikutin gue. Kalian bebas kok mau makan apa," ujarku yang diselipi rasa bersalah.
"Apa-apaan sih Mei? Siapa juga yang ngikutin lo? Gue juga bosen nih makan daging mulu. Kolesterol gue naek. Pengen makan nasi padang aja!" Rosi berkata.
"Yeeeyy sama aja, Oncom! Takut makan steak milih nasi padang!" sahut Arin.
"Eh, sama, ya? Ya udah ah apa aja asal jangan steak. Makan bakso aja gimana? Yang penting gak kolesterol." Ucapan Rosi kali ini membuat kami tergelak. Ya ampun!
"Happy banget kayaknya, nih?"
Aku terkejut saat mas Arya tiba-tiba muncul dan berdiri di sebelahku. Aku melengos pelan, sementara Arin dan Rosi tampak salah tingkah setelah mengetahui status hubunganku dan mas Arya yang sedang tak harmonis sekarang.
"Letta sama siapa?" Mas Arya melempar tanya, tapi aku tahu itu dia lakukan bukan karena ia benar-benar ingin tahu tentang anak kami.
"Sama ibu," jawabku singkat. Kuberi kode pada Arin dan Rosi untuk segera pergi dari sini. Namun saat aku hendak mengikuti kedua temanku yang sudah berjalan lebih dulu, dengan sigap mas Arya mencekal tanganku, dan hal itu membuatku terkejut sekaligus kesal.
"Tunggu, Mei!" desisnya dengan suara tertahan karena di sekeliling kami sedang berada di lobby kantor.
"Mau apa lagi sih kamu, Mas? Lepasin. Aku mau istirahat!"
"Kita perlu bicara!"
Tanpa menunggu persetujuanku, mas Arya langsung menarik tanganku keluar ruangan menuju sisi gedung. Arin serta Rosi terlihat panik dan segera menyusul kami.
"Lepasin, Mas!" Kusentak tanganku sekuat tenaga hingga cekalan mas Arya terlepas.
"Kalian tolong jangan ikut campur. Ini masalah rumah tangga kami." Mas Arya berkata kepada Arin dan Rosi yang berdiri tak jauh dari kami.
Kedua temanku itu terlihat serba salah untuk mengambil sikap. Di satu sisi mereka mengkhawatirkan aku, di lain sisi apa yang diucapkan mas Arya memang benar. Masalah kami adalah masalah keluarga, kami masih terikat hubungan suami istri karena hingga detik ini mas Arya belum menalak atau pun menceraikanku secara resmi.
"Kamu yang meninggalkan rumah, Mas! Kamu dan ibumu yang menginginkan perceraian. Jangan menjilat ludah sendiri kamu!" bentakku yang sudah mulai emosi.
"Tapi aku berubah pikiran, Mei. Aku tidak ingin kita bercerai. Pandang Letta. Tega kamu, membuat anak kita tumbuh tanpa orang tua lengkap?"
Aku tersenyum sinis mendengar kalimat sampah yang keluar dari mulut mas Arya.
"Berubah pikiran, katamu Mas? Apa kamu pikir aku ini nggak punya perasaan dan harga diri? Semudah itu kamu mencampakkan, semudah itu kamu bilang berubah pikiran dan ingin kembali? Maaf, tapi pintu hatiku sudah tertutup buat kamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
RomanceJika pernikahan yang dijalani hanya menghadirkan luka bagi salah satu pihak saja, maka bisa saja kebahagiaan bisa teraih setelah berpisah.