"Sebenarnya kita mau kemana, sih?" tanyaku ketika Rosi mulai tancap gas. Mobil melaju perlahan sebelum akhirnya stabil dengan kecepatan sedang. Hatiku sebenarnya risau. Masih seputar masalah keuangan yang membelitku saat ini.
Sebenarnya juga bukan salah mereka berdua. Yang salah adalah aku karena tidak jujur mengungkapnya.
"Kenapa sih, Mei, mukanya tegang gitu. Rileks napa ...." Rosi berseloroh sambil tangannya memencet-mencet tombol audio pada dashboard. Tak lama, sebuah lagu dari Blackpink terdengar dari speaker. Aku melenguh sembari memutar kedua bola mata.
Arin sibuk mengikuti setiap kali para personil Blackpink menyanyikan kata 'how you like that'. Sepertinya kedua sahabatku ini sudah terkena K-pop syndrome.
"Sorry Mei, gue gak punya kaset lagu Meggy Z di sini. Lo nggak papa kan, dengerin lagu korea gini?" celetuk Arin sambil nyengir ke arahku. Kutimpuk dia dengan wadah tissu yang terbuat dari kain flanel yang kudapatkan di jok sebelahku duduk.
Arin memekik pelan, disusul suara tawa Rosi. Aku pun jadi ikut tertawa dengan kalimat candaan Arin tadi.
"Emang sejak kapan gue demen dengerin lagu Meggy Z, Oneng!" Kutoyor kepala Arin ke depan.
Tawa kami makin meledak setelahnya. Aku bahkan sampai keluar air mata. Baru aku sadari, telah lama aku tak merasakan semua ini. Tertawa lepas tanpa beban. Bukan berarti selama ini aku tak bahagia. Tidak. Aku tidak mau menjadi manusia yang mengingkari nikmat Tuhan. Hanya saja, hal-hal seperti ini memang aku butuhkan sekali-sekali.
Semenjak menikah dan punya anak, rutinitasku hanya seputar mengurus rumah tangga. Memang benar mengurus rumah tangga adalah ladang pahala bagi setiap istri. Tapi bagaimana juga aku ingin sesekali mencari hiburan agar jiwa ini tak gersang lalu mati.
Namun mas Arya terlalu sibuk untuk sekedar menghabiskan waktu hanya berduaan denganku. Kalau keluar pun, tak lain hanya untuk belanja bulanan saja. Itu pun setelahnya kami langsung pulang. Tak ada yang namanya acara mampir ke cafe atau sekedar makan di resto. Semua berjalan monoton, dan aku yang hanya bisa menadahkan tangan pada suami ini mau tak mau harus nerimo saja.
Rosi membelokkan kendaraan menuju basement parkiran gedung mall. Aku diam saja, memilih mengikuti kemauan kedua sahabatku ini.
"Yok!" seru Rosi setelah mematikan mesin mobil. Kami semua turun dan berjalan santai memasuki gedung mall.
"Pada mau belanja, nih?" tanyaku pada mereka berdua. Namun keduanya justru saling lirik penuh arti. Aku mendecak. Kesal sebenarnya jika merasa hanya diri ini yang tak tahu apa rencana mereka.
Kami terus berjalan santai sambil melihat-lihat. Melewati beberapa stand pakaian anak, aku ingat pada anakku di rumah. Hatiku tiba-tiba digayuti mendung, tapi segera kutepis sedetik kemudian karena tak mau merusak suasana hati Rosi dan Arin.
"Eh ... Mei, Mei, coba kesini sebentar!" Rosi memanggilku. Di sampingnya Arin juga ikut melambai dengan isyarat tak sabar. Kuhampiri mereka.
"Apaan?" tanyaku.
"Nih, Rin. Coba sini, lo sedengin." Rosi menyodorkan sebuah blouse berwarna maroon kepadaku. Aku menerimanya dengan kening berkerut.
"Kenapa gue? Yang mau belanja kan, kalian?"
"Ish si emak, protes aje. Udah cobain dulu, sana." Arin setengah mendorongku menuju kamar pas yang tak jauh dari kami.
Terpaksa kuturuti kemauan mereka meskipun tak paham apa maksudnya.
"Nih!" seruku setelah keluar dari ruang berukuran 1,5×1,5 meter tersebut. Blouse tadi telah melekat sempurna di tubuhku.
Arin serta Rosi berpandangan lalu mengacungkan jempol ke arahku.
"Nih lagi, Mei!" Arin mendatangiku dan menyerahkan beberapa helai celana panjang serta blazer dan rok se-lutut.
"Nih pada ngapain sih, kalian? Ngajakin cuma buat ngerjain gue nih, ceritanya?" Aku pura-pura merajuk, tapi tetap menuju kamar ganti sesuai pinta mereka untuk mencobai pakaian-pakaian itu satu per satu.
"Pas semuanya ya di badan lo?" Rosi bertanya seakan memastikan. Aku mengangguk tapi dengan tatapan heran pada kelakuan ganjil kedua temanku hari ini.
"Ya udah yok, langsung ke kasir. Abis itu makan, dah laper berat gue!" Arin berkata seraya mengelus perutnya yang rata.
"Yok!" sambut Rosi. Kembali aku hanya mengekori keduanya berjalan ke kasir.
Setelah membayar dan menerima kantong berisi belanjaan tadi, Rosi tiba-tiba menyerahkannya padaku.
"Asem, gue diajak cuma buat dijadiin kacung. Kualat kalian entar sama gue!" rutukku dengan suara pelan.
Rosi dan Arin cuma mesem-mesem saja.
Selanjutnya, mereka mengajakku ke salah satu gerai makanan yang namanya cukup terkenal bagi para pencinta kuliner. Somaria.
Memasuki restoran tersebut, Rosi tampak girang saat melihat ada meja kosong yang terletak di sudut. Bergegas ia ke sana. Takut keduluan orang lain, katanya.
Aku diam sambil tercenung saat kedua temanku asik memilih menu pesanan. Arin menyikut siku-ku pelan. "Mau makan apa, Mei?" tanyanya. "Ikut aja," jawabku singkat.
Makanan datang sekitar lima belas menit kemudian. Bukan cewek namanya kalau makan gak sambil ngobrol. Itulah yang kami lakukan sekarang ini.
"Mei dari tadi diem mulu. Kenapa? Ada yang dipikirin?" Rosi bertanya. Aku menggeleng pelan. Lagi-lagi malu untuk terbuka pada teman-temanku.
"Udah Mei, jangan banyak pikiran. Mending lo siapin mental mulai dari sekarang. Kan bentar lagi lo bakal ketemu hampir setiap hari sama si beruang kutub ...." seloroh Arin kemudia menyuap makanan ke mulutnya.
Aku menatap Arin penuh tanya. "Maksud lo, Rin?"
"Lo diterima kerja, Mei. Tadi pak Farhan suruh gue hubungi lo buat kasih tau kalo Senin lusa lo dah bisa mulai kerja." Jawaban Arin menghenyakku antara percaya dan tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
RomanceJika pernikahan yang dijalani hanya menghadirkan luka bagi salah satu pihak saja, maka bisa saja kebahagiaan bisa teraih setelah berpisah.