Part 13

6.9K 450 1
                                    

"Terima kasih ya, Bang," ucapku pada driver ojol seraya mengembalikan helm yang tadi dipinjamkannya padaku. Lelaki muda itu tersenyum ramah seraya berujar, "jangan lupa kasih bintang lima ya, Kak."

"Oke, Bang. Hati-hati di jalan." pesanku. Sekali lagi pemuda itu tersenyum ramah dan mengangguk sekilas ke arahku sebelum kembali tancap gas, berlomba dengan kendaraan lainnya di jalanan ibukota yang padat.

Memasuki gedung perkantoran yang dulu sangat akrab dengan keseharianku, kali ini terasa berbeda. Tiga tahun resign, ternyata banyak pula bagian-bagian gedung yang telah direnovasi.

Beberapa karyawan petugas keamanan pun tampaknya sudah digantikan oleh wajah-wajah baru yang tak kukenal, namun semuanya bersikap ramah dan sopan saat berpapasan denganku.

Ponsel di saku celana bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Palingan dari Rosi atau Arin yang ingin memastikan aku sudah tiba di kantor.

Kulirik arloji di tangan kiri. Jam tujuh lewat sedikit. Aku melenggang tenang melewati loby, lalu berhenti di depan lift.

Beberapa karyawan lama yang juga sedang menunggu lift turun, terlihat terkejut saat melihat kehadiranku pagi ini. Mereka langsung menyalami dan bertanya kabar. Tapi aku juga menangkap tatapan ganjil dari beberapa orang di antaranya.

"Balik kerja lagi mbak Mei?" Linda, salah satu dari mereka bertanya sambil mengajak cipika-cipiki.

"Iya." Hanya itu jawabku sambil melempar senyum ramah padanya.

"Mas Arya mana? Nggak bareng?"

Linda bertanya lagi. Sungguh sebuah pertanyaan yang aku sendiri bingung bagaimana harus menjawab.

Tapi untungnya aku terselamatkan dari pertanyaan maut tersebut dengan terbukanya pintu lift di depan kami yang sedari tadi ditunggu-tunggu. Semua karyawan berbondong-bondong masuk ke dalam lift, termasuk aku.

Dalam sekejap saja, lift sudah penuh, dan aku nyaris terjatuh saat seseorang menyerobot masuk dan menyenggol tubuhku. Aku limbung dan nyaris terjungkal saat sebuah tangan kekar menangkap tubuhku dengan gerakan cepat.

Pintu lift di depanku menutup, aku ketinggalan saat terlempar keluar tadi.

Sialan.

"Lain kali hati-hati. Dan datanglah lebih pagi biar nggak rebutan naik lift seperti tadi." Suara berat nan dalam itu membekukanku seketika. Aku menoleh ke belakang, di mana suara tadi berasal.

Pak Farhan!

Glek.

Aku menelan ludah saat menyadari lengan kokoh yang tadi menyelamatkanku adalah milik lelaki itu. Boss-ku!

"Eh, ss-selamat pagi, Pak," sapaku sambil merapikan pakaian.

Lelaki yang dijuluki kanebo kering oleh Arin itu hanya menggumam tak jelas. Sedetik matanya mengamatiku, kemudian dengan cepat ia mengalihkan pandangan.

Tring!

Lift terbuka di depan kami. Pak Farhan melangkah masuk mendahuluiku. Aku sendiri jadi ragu-ragu, haruskah aku masuk ke dalam lift yang sama, atau sebaiknya menunggu yang berikutnya saja?

"Meira!"

Aku tersentak saat ia memanggil namaku dengan suara keras. Belum sempat aku menemukan jawaban bagaimana dia bisa mengingat namaku, pak Farhan kembali berbicara sambil salah satu tangannya menahan pintu lift agar tidak menutup.

"Kamu mau naik ke lantai sepuluh lewat tangga darurat? Ingat, saya tidak mentolerir keterlambatan di hari pertama kerja."

Nada suaranya datar, namun penuh tekanan.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang