Part 3

7.1K 502 7
                                    


"Mbak, sepertinya Valetta demam, badannya anget. Dari tadi rewel terus." Lany tiba-tiba masuk ke kamarku sembari menggendong Valetta yang masih menangis.

Kuletakkan ponsel di dekat bantal sehabis menelepon Arin tadi, lalu mengambil alih Valetta dari gendongan Arin.

"Anak Mama kenapa ini? Sudah ya, Sayang ... jangan nangis. Cup cup cup...." Kuhibur Valetta sambil kubelai lembut punggungnya dalam gendonganku.

Lany masih berdiri di tempatnya sambil memandangiku menenangkan Valetta. Dari ekspresi wajahnya, tersirat adikku itu tengah gelisah. Seperti ada yang hendak disampaikannya.

"Kok kamu masih di rumah, Lan? Nggak ke kampus?" tanyaku heran karena tumben juga sudah jam segini Lany belum berangkat kuliah.

"Eh ... gini Mbak, gimana kalau aku cuti dulu sambil mencoba cari kerjaan? Mengingat sekarang__"

"Nggak." Kupotong cepat ucapan Lany.

"Jangan mikir macem-macem, Lan. Ingat, kuliahmu hanya tinggal setahun lagi." Aku melanjutkan.

"Tapi, Mbak. Aku gak mau jadi beban Mbak karena sekarang keadaannya sudah berbeda. Mbak juga punya Letta yang harus dipenuhi kebutuhannya," debat Lany dengan ekspresi kesedihan di wajahnya.

"Lan ... udah, nggak usah khawatir. Jalani kuliahmu seperti biasa. Semua akan baik-baik saja. Mbak janji. Doakan saja Mbak diterima bekerja kembali di perusahaan lama tempat Mbak kerja dulu, ya?"

Lany terbelalak seolah terkejut dengan ucapanku.

"Mbak mau balik kerja di sana? Bukannya mas Arya juga kerja di sana, Mbak?" ungkap Lany.

Aku menganggukkan kepala seraya terus mengayunkan badan ke kanan dan ke kiri dengan ritme teratur. Valetta mulai tertidur dengan kepala terkulai di pundakku.

"Nggak apa-apa, Lan. Justru dengan begitu Mbak bisa membuktikan padanya kalau Mbak juga bisa menghidupi kita semua tanpa belas kasihan darinya. Mbak bahkan siap bersaing dengan mas Arya di sana," tegasku pada Lany.

Raut wajah terkejut di wajahnya seketika berubah sumringah dengan senyum lebar menghias di bibirnya.

"Iya, Mbak. Lany doakan Mbak Mei diterima kerja lagi di sana. Aamiin ya Allah ...," ucapnya.

"Sekali lagi Mbak ingatkan, kamu jangan berpikiran macam-macam. Kuliah yang bener dan bikin Mbak serta ibu kita bangga, ya?" Kuusap lengan Lany pelan.

"Siap, Mbak! Pasti." janjinya.

Aku tersenyum, lalu berkata, "ya sudah, mandi gih terus ngampus sana."

Lany sekali lagi tersenyum lebar sebelum keluar dari kamarku.

Dengan hati-hati kuletakkan tubuh Valetta di atas kasur, lalu membuka laci nakas samping tempat tidur untuk mengambil thermometer. Kuletakkan benda kecil tersebut di antara ketiak anakku, lalu menunggu beberapa detik hingga benda itu berbunyi pelan.

39 derajat, cukup tinggi suhu tubuh anakku. Meski tak yakin, aku teringat masih menyimpan persediaan kompres demam. Aku pun kembali mencari-cari di laci nakas. Alhamdulillah, masih ada dua bungkus. Kuambil sebuah, lalu kulekatkan pelan kompres tersebut di dahi Valetta setelah membuka bungkusnya.

"Cepat sembuh, Sayang. Jangan sakit ...." ucapku lirih sambil menatap khawatir pada anakku yang masih pulas.

"Mei ...."

Suara panggilan di belakang membuatku spontan menoleh. Ternyata ibu.

"Ya, Bu?" sahutku. Ibu melangkah masuk menghampiri. Sejurus kemudian disentuhnya lengan Letta yang terbuka.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang