Part 4

6.9K 430 2
                                    

"Ya ampun, kok bisa sih, Lan?" seruku tanpa sadar, yang langsung membuat Valetta bergerak gelisah dalam gendonganku.

"Aku juga bingung, Mbak. Kok bisa, ya?" Lany menyahut dengan ekspresi kebingungan.

"Kamu sih, Mbak tadi bilang juga apa? Kamu main yakin-yakin aja. Untung orang tadi bukan penjahat. Kalo dia perampok atau pemerkosa gimana?" ujarku sambil bergidik ngeri membayangkan jika tadi sampai terjadi hal buruk karena kesembronoan kami yang main asal naik mobil orang begitu saja.

"Ihh ... iya Mbak, aku yang salah memang. Sudah yuk kita langsung ke dalam. Kasihan tuh Letta kedinginan entar," sahut Lany lalu berjalan mendahuluiku memasuki halaman rumah sakit.

****

"Anak Ibu mungkin terkena ISPA. Bunyi nafasnya juga agak berat. Apa dari ayah atau ibunya punya riwayat asma?" Dokter bertanya setelah selesai memeriksa kondisi Valetta.

Anakku kembali menangis. Mungkin takut karena merasa asing dengan suasana rumah sakit, ditambah pula sedang tidak enak badan.

"Tidak ada, Dok. Saya maupun ayahnya tidak ada yang mempunyai riwayat asma." Kujawab pertanyaan dokter seraya menggendong Valetta yang masih rewel.

Sang dokter manggut-manggut mendengar jawabanku. "Baiklah kalau begitu. Sebentar saya buat dulu resepnya, nanti silahkan ditebus di apotek rumah sakit." Dokter muda itu kembali berkata, lalu meninggalkan kami untuk menulis resep bagi Valetta di meja kerjanya.

"Syukurlah Letta nggak sampai harus dirawat inap, Lan," ucapku pelan pada Lany. "Iya, Mbak. Semoga setelah ini Letta segera sembuh," jawabnya sambil ikut mengelus punggung Letta yang kini sudah agak mulai tenang.

Kami harus menunggu sekitar tiga puluh menit untuk menebus resep obat karena ada beberapa macam obat yang harus dibentuk menjadi puyer. Mataku mulai terasa berat. Sepanjang hari ini tenagaku memang agak terforsir mengurusi Letta.

Iseng aku mengecek ponsel, sementara gantian Lany sekarang yang memangku Letta yang kembali tertidur.

Tak kusangka ada sebuah pesan masuk dari Arin, sahabatku.

[Besok kirimin CV lo ke email.] Bunyi pesan dari Arin. Terkirim sekitar dua puluh menit yang lalu. Karena tadi sedang repot dengan Letta, aku jadi tak ngeuh waktu ponselku berbunyi untuk memberikan notifikasi.

[Siap. Email kantor masih sama, kan? Sorry baru bales.] Kukirim segera ke Arin. Mungkin ia sudah terbang ke alam mimpi saat ini. Biarlah, besok pasti dibacanya pesanku ini.

[Iyeeee. Masih sama. Kok belom tidur? Begadang, lo?]

Tak kusangka Arin langsung membalas pesan dariku. Aku pun segera membalasnya kembali.

[Masih di rumah sakit, bawa si kecil.]

[Loh, sakit apa anak lo? Berdua dong sama Arya?]

Moodku langsung ambyar membaca pesan terakhir Arin karena menyebut-nyebut nama mas Arya. Arin memang belum tahu perihal permasalahan rumah tanggaku, jadi wajar saja jika dia mengira bahwa aku tentunya sekarang sedang bersama-sama dengan lelaki itu untuk mengantar anak kami berobat.

Baru jari ini hendak mengetik pesan balasan untuk Arin, tiba-tiba terdengar nama Valetta dipanggil oleh petugas apotek. Aku pun bergegas bangkit untuk mengambil obatnya.

"Lany, yok pulang." Kucolek Lany yang matanya sudah 5 watt sambil menunjukkan kantong berisi obat untuk Valetta. Lany menguap sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Kantong berisi obat kumasukkan dalam tas, lalu kuraih Valetta dari pangkuan Lany.

"Pake taksi lagi kita, Mbak?" Lany bertanya saat kami berjalan melewati lapangan parkir rumah sakit yang sepi. Hanya kendaraan yang terparkir berjejer memenuhi lahan parkirnya.

"Iyalah. Masa ngesot?" sahutku sekenanya.

"Ih Mbak Mei pasti masih keki gara-gara taksi online tadi nih ...," gerutu Lany sambil mengeluarkan ponselnya. Bersiap untuk memesan taksi online yang akan mengantar kami pulang ke rumah.

****

Waktu hampir menunjukkan pukul satu dini hari ketika kami sampai di rumah. Melihat Letta masih sangat pulas, aku tak tega untuk memberinya obat. Maka kuputuskan untuk memberinya besok pagi saja.

Tubuh yang terasa amat letih, membuatku jatuh terlelap tanpa sempat mencuci muka terlebih dahulu. Ketika kantuk mulai membuai, rasanya semua beban pikiran pun ikut tenggelam seiring dengan kesadaran yang semakin berkurang.

****

Suhu tubuh Letta masih turun naik, namun ia sekarang sudah mulai mau makan bubur sedikit dan minum ASI. Sepertinya, obat yang diresepkan oleh dokter semalam mulai bereaksi.

"Kasihan cucuku, masih terlalu kecil untuk mengerti badai yang menerpa pernikahan kedua orang tuanya," ucap ibu lemah sembari menyuapi Letta dengan bubur halus yang kubuat.

Mendengar ucapannya, jujur saja hatiku pun merasa sedikit tercubit. Letta yang harus menjadi korban keegoisan aku dan mas Arya. Tapi apakah aku yang sepenuhnya bersalah karena membela ibu dan Lany?

Seharusnya mas Arya pun lebih bijak dalam bersikap sebagai suami. Apalagi ia tahu sebelum menikah pun aku adalah tulang punggung keluarga, menggantikan ayah yang telah tiada. Ketika ia telah menyanggupi untuk mengambil alih semua beban dipundakku, harusnya dia juga sadar atas segala konsekwensinya.

Hanya karena baju yang belum diseterika, ia jadi semena-mena memangkas uang bulanan. Rasanya pun, hal itu terlalu mengada-ada. Atau mungkinkah ada alasan lain di balik perubahan sikap mas Arya yang tiba-tiba? Entahlah ....

Aku hanya membela hak ku yang telah dijanjikannya. Sebatas itu. Tapi dia sendiri yang semakin melebarkan masalah dengan berkata yang tidak-tidak tentang keluargaku.

Ditambah lagi, ia juga melibatkan mamanya dalam permasalahan ini. Masalah akan semakin rumit ketika orang tua ikut campur dalam permasalahan rumah tangga anaknya. Dan itulah yang terjadi pada kami sekarang. Semua sudah telanjur saling benci hanya karena dipicu masalah yang amat sepele.

"Maafkan Mei, Bu. Tidak ada maksud untuk membuat Letta menjadi korban karena masalah Mei dan mas Arya. Kelak dewasa Letta akan mengerti dengan sendirinya. Jujur saja, Mei pun sekarang sudah mentah hati jika harus bersatu lagi dengan mas Arya. Semua ucapan mas Arya dan mamanya, selamanya akan membekas dalam hati dan otak Meira, Bu," uraiku mengutarakan isi hati yang sebenarnya.

"Harusnya Arya juga tak perlu sampai melibatkan mamanya. Kalau pun dia keberatan karena harus menanggung Ibu dan Lany, dia kan bisa berterus terang. Selanjutnya, tinggal fokus mencari solusi bagaimana yang terbaik."

Pendapat ibu barusan memang seide denganku. Ah, susah memang jika memiliki pasangan yang kurang dewasa. Semua dilakukan hanya berdasar menuruti emosi dan hawa nafsunya saja, padahal masalah tersebut masih bisa diselesaikan melalui komunikasi secara baik-baik.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang