Part 20

7.9K 543 4
                                    

Aku seakan terpaku pada senyuman pak Farhan yang boleh dibilang adalah sesuatu yang langka. Bahkan saking langka-nya, hal ini bisa dimasukkan dalam kategori Tujuh Keajaiban Dunia.

Ngaco!

"Terima kasih untuk pujiannya, Pak." ucapku setelah tersadar dari sihir senyuman mautnya itu.

"Ck. Yang muji siapa? Saya bicara berdasar apa yang saya lihat. Saya paling anti pujian dan juga sangat jarang memuji orang lain. Karena terkadang pujian itu tak lebih dari sekedar basa-basi untuk memulai awal dari sebuah tujuan."

Agak berat topik obrolan kali ini, atau kah otakku yang terlalu terbatas hingga tak mampu menangkap maksud ucapan pak Farhan tadi?

"Kalau nggak ngerti ya sudah diem aja. Jangan terlalu memaksa otak berpikir yang berat-berat."

Itu adalah ucapan terakhir yang kudengar dari mulut pak Farhan. Karena setelahnya, lelaki itu mengatupkan mulutnya dan kembali diam.

***

"Seriusan lo si Arya berani berbuat begitu di depan si Renita?" seru Arin ketika kuceritakan apa yang terjadi antara aku dan mas Arya tadi siang di halaman kantor.

"Iya. Gue juga heran. Tapi gue sekarang udah punya senjata buat ngelawan mas Arya kalau dia bersikeras gak mau cerein gue."

Aku berhenti bicara untuk menyeruput segelas jus jeruk di hadapanku.

"Senjata apaan, Mei? Laras panjang?"

Rosi langsung menoyor kepala Arin ke samping. Membuat Arin tertawa lebar setelahnya.

"Dasar bolot! Kalau senjata laras panjang mah 'punya' si Arya!" Rosi berseloroh. Benar-benar nyeleneh anak ini.

"Tapi ngomong-ngomong, senjata apa maksud lo, Mei?" Rosi bertanya serius seraya mencondongkan tubuh ke arahku.

Aku tersenyum menatap Rosi, lalu menggodanya dengan berkata, "wani piro?"

"Mau gue timpuk pake kursi?" sahut Rosi lalu tertawa keras.

"Apaan sih, Mei? Jangan bikin penasaran, deh!" Rosi kembali serius sambil menatapku penasaran. Aku tersenyum lebar dengan tangan terulur menyerahkan ponselku pada Rosi.

"Tuh, dengerin!" perintahku pada keduanya untuk mendengar langsung rekaman percakapan antara aku dan Renita kemarin petang.

"Gila! Dasar nggak ada otak, ya! Perempuan gatel, nyosor aja walau laki orang kaga peduli dia!" geram Arin setelah mendengar isi rekaman tadi hingga selesai.

"Terus, ni rekaman bakal lo pakai buat apa, Mei?" Rosi bertanya lagi. Aku menghela nafas sejenak sebelum menjelaskan maksud dan tujuanku yang sengaja merekam pembicaraan itu.

"Rekaman ini akan gue pakai buat menggugat cerai mas Arya kalau dia nekat mau mempersulit perkara ini."

Mata Arin menatap kagum padaku. "Pinter juga lo, Mei!" pujinya.

"Harus, Rin. Mas Arya harus merasakan apa konsekwensi dari pengkhianatan yang dia lakukan ke gue." Aku mengepal tinju di tangan mengingat liciknya cara lelaki itu hendak membuangku dengan cara seolah kesalahan ada di pihakku. Satu hal yang tak termaafkan adalah kata-katanya untuk ibu.

"Eh tapi ngomong-ngomong, gimana kemaren meeting lo sama pak Farhan?" Arin merubah topik pembicaraan.

"B aja," jawabku pura-pura cuek.

"Halah ... masa sih, 'B' aja?" Rosi tampak sangsi dengan jawabanku yang asal tadi. Mana mungkin kukatakan kepada kedua cecunguk ini kalau dada ini selalu berdebar kencang tiap kali berada berdekatan dengan pak Farhan.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang