Part 21

8K 542 35
                                    

"Mbak Mei kok nggak pernah cerita sih tentang semua ini?" Lany mendekat dan menunjuk semua 'barang bukti' yang tadi kuletakkan di atas meja.

"Mbak cuma nggak mau membebani pikiran ibu dan kamu, Lan. Kalau Mbak cerita, pasti kalian tambah sedih dan kepikiran," jawabku sambil meletakkan bokong ke atas sofa, tepat di sebelah ibu.

"Uh dasar memang mas Arya buaya buntung! Kenapa juga sekarang maksa-maksa minta rujuk lagi? Udah meludah, dijilat lagi. Cih!" Lany mengoceh geram.

"Ibu nggak nyangka Arya bisa setega itu sama kamu, Mei. Kecewa sekali hati Ibu rasanya. Apalagi dia juga berani memfitnah kamu padahal dia sendiri yang selingkuh."

Nada bicara ibu memang pelan dan tak sekasar Lany, tapi aku bisa merasakan kemarahan di dalamnya.

Aku melenguh pelan mengingat yang dilakukan oleh mas Arya tadi siang. Jika status kami belum juga diputuskan, maka ia akan selalu mengganggu ketenanganku karena merasa aku masih sah menjadi istrinya.

"Bu, nanti setelah gajian, Mei akan menggugat cerai mas Arya. Kalau sekarang Mei masih belum ada uangnya." Aku berkata pelan pada ibu.

"Jual saja perhiasan Ibu, Mei. Ibu ikhlas asalkan kamu bisa lepas dari suami macam Arya itu. Kamu harus bahagia," ucap ibu dengan tatapan sayangnya untukku.

"Nggak usah, Bu. Biar pakai uang Mei saja nanti kalau sudah gajian. Seharusnya sebagai anak, Mei yang harus memberi, bukan sebaliknya.

Doakan Mei terus ya Bu, supaya rejeki dan pekerjaan Mei di kantor semua lancar," pintaku sambil melempar senyum pada ibu yang sedang mengesat kedua matanya yang basah.

****

Kumatikan kran air di atas wastafel yang menyala, setelahnya aku me-retouch sedikit penampilan.

Bayangan di cermin toilet menampakkan wajahku sedikit berminyak. Sesuatu yang merusak penampilan nggak boleh dibiarkan, bukan?

Setelah semuanya selesai, aku pun bermaksud hendak kembali ke lantai sepuluh. Jam istirahat lima belas menit lagi akan habis.

Baru beberapa langkah meninggalkan ruangan yang berisi beberapa bilik toilet tersebut, terdengar seseorang memanggil namaku.

"Meira, tunggu!"

Aku memutar bola mata dengan malas. Tanpa melihat pun, aku tahu siapa yang memanggilku barusan.

Dia Renita.

"Bisa nggak sih, lo pindah kerja aja? Keberadaan lo di sini, akan bikin mas Arya makin sulit ngelepasin lo!" serangnya langsung begitu ia telah berdiri di hadapanku.

Beberapa saat aku hanya bisa melongo kaget atas kelancangan perempuan perusak rumah tangga orang ini.

Apa sih yang ada di otaknya si Renita hingga ia berani-beraninya meminta hal yang tak masuk akal seperti ini?

"Lo nggak salah ngomong, Ren? Kenapa harus gue? Kenapa nggak kalian aja yang pindah, kan kalian yang merasa terganggu dengan keberadaan gue di sini?" tantangku sambil menatap matanya.

"Mas Arya tuh punya jabatan penting di perusahaan ini. Dia itu seorang manager marketing, sedangkan lo bukan siapa-siapa. Lo cuma karyawan biasa.

Jadi udah semestinya dong yang bukan siapa-siapa yang harus angkat kaki?" Renita membantah sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Oh ya? Jadi gitu menurut lo? Kalau gue berhenti kerja, lo berdua sanggup membiayai semua kebutuhan gue sekeluarga?"

Aku bicara sembari melangkah maju mendekati Renita hingga ia terpaksa mundur selangkah.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang