Part 7

6.7K 434 0
                                    

Beberapa kali aku menelan ludah setelah sesi interview berakhir. Tak dapat kutebak apakah aku dianggap layak oleh pak Farhan dan akan lolos melewati tes interview ini. Raut wajah lelaki itu selalu datar, hampir tanpa ekspresi.

Entah apakah dia puas atau tidak dalam setiap jawaban yang kuberikan, ia sama sekali tak menunjukkan ekspresi apa pun. Mungkin otot-otot di wajahnya mengalami kram permanen sehingga hampir selama tiga puluh menit yang kami lalui bersama ini aku tak pernah melihat barisan giginya karena ia tak pernah tersenyum.

"Baiklah, terima kasih atas kedatangan anda hari ini, Meira Jasmine Aulia. Untuk hasilnya nanti anda akan diberitahu lewat telepon oleh staff kami."

Lelaki itu berkata, kemudian beranjak dari kursinya, sebagai isyarat sudah waktunya aku harus pergi. Kuikuti gerakannya, lalu mengulurkan tangan untuk menjabatnya.

"Terima kasih, Pak," ucapku. Keningnya sedikit berkerut melihat uluran tanganku, tapi tak urung ia pun menyambutnya, lalu secepat kilat pula melepaskannya. Seakan telapak tanganku ini sepanas bara hingga ia tak tahan menyentuhnya lama-lama.

Sambil berjalan melewati lorong yang tadi kulalui ketika datang tadi, aku pun mencoba menghubungi Arin. Panggilan langsung terangkat begitu tersambung. Seakan Arin memang sedang menunggu-nunggu kabar dariku.

"Halo, Mei?" sambut Arin cepat.

"Gue udah selesai, Rin. Kita ketemu di mana?" sahutku.

"Lo tunggu di depan lobby, ya? Maksud gue di depan pintu lobby-nya. Entar gue sama Rossi jemput lo di situ. Kita makan di luar bareng. Kebetulan udah jam istirahat ini."

Kuiyakan perkataan Arin, kemudian menutup telepon.

Pintu lift terbuka, namun langkah seakan terpaku saat melihat seseorang yang berada di dalamnya.

Mas Arya. Ia juga tidak menyembunyikan keterkejutannya. Tak ingin lama menimbang, aku pun segera melangkah masuk dan pintu lift kemudian tertutup. Hanya ada kami berdua dalam benda berukuran 3x3 meter ini. Lift perlahan bergerak turun, aku di berdiri membelakangi mas Arya, berada beberapa langkah di depannya.

"Tak kusangka kamu nekat juga, Mei." ucapan mas Arya memecah kebisuan di antara kami.

"Apa kamu pikir perusahaan mau menerimamu kembali bekerja di sini?" Nada sinisnya tertangkap dipendengaranku.

Lift terus turun perlahan, kemudian berhenti di lantai empat. Pintu terbuka, seorang perempuan berwajah cantik terlihat berdiri.

Perempuan itu mengembangkan senyum sambil melangkah memasuki lift. Sempat heran karena aku tak mengenalnya dan kupikir dia sedang tersenyum padaku.

Namun keherananku segera terjawab ketika perempuan itu memanggil mas Arya dengan suara yang dibuat begitu manja.

Perempuan itu merangkul lengan lelaki yang masih sah jadi suamiku. Aku menoleh, menangkap kepanikan di wajah mas Arya. Diturunkannya tangan berkutek merah milik perempuan itu, namun segera di protes oleh pemiliknya.

"Kenapa sih, tumben banget nggak mau digandeng?" rajuk perempuan itu yang membuatku tersenyum geli. Ternyata begini kelakuan suamiku selama ini di belakangku.

Mendadak aku teringat kotak kondom yang hanya tinggal bungkusnya itu. Mungkinkah dengan perempuan ini suamiku menghabiskannya?

Tring!

Pintu lift terhenti di lantai dua. Mas Arya dan perempuan itu tampaknya akan keluar. Dan benar saja, perempuan yang tak mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya adalah istri sah dari lelaki yang sedari 'ditempelinya' itu mengucap permisi dengan sopan padaku.

Mas Arya pura-pura membuang pandangan ke arah lain. Saat keduanya telah keluar dan pintu lift bersiap menutup, dengan cepat kutahan pintu lift dengan tangan.

"Mas Arya!" seruku, tepat saat keduanya hendak berjalan meninggalkan pintu lift. Mendengar panggilanku, perempuan itu yang terlebih dulu menoleh.

Mas Arya terlihat canggung di depan pacarnya. "Kamu kenal dia, Yang?" tanya pacar mas Arya. Belum sempat mas Arya menjawab, aku terlebih dulu berkata, " kutunggu gugatan cerai resminya, Mas."

Pacar mas Arya yang tak kuketahui namanya itu seketika membeliakkan matanya demi mendengar kata-kataku untuk mas Arya barusan.

Kutarik kembali tanganku untuk membiarkan pintu lift kembali menutup.

Meski mencoba tampil tenang dipermukaan, tak ayal perasaanku terkoyak juga. Tak pernah terlintas sedikit pun jika akhirnya biduk pernikahanku yang baru dikembangkan layarnya itu harus ternoda sebuah pengkhianatan.

Memang telah kuputuskan mengikuti kemauan mas Arya untuk menyudahi hubungan ini, namun mendapati sebab alasan yang sebenarnya tetap saja hati ini sakit.

Hhftt ..., kuhela nafas berkali-kali setelah keluar dari dalam lift. Kuputuskan untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum bertemu Arin dan juga Rosi. Mereka tak boleh melihatku dalam keadaan kacau karena aku belum sanggup mendapat banyak cecaran pertanyaan dari keduanya.

"Mei ...!"

Arin melambai ke arahku dari balik jendela mobil di sisi penumpang yang berhenti tepat di depanku. Segera saja aku masuk dan duduk di jok belakang mobil.

"Mau makan di mana kita?" Rosi memulai pertanyaan.

"Makanan jepang gimana?" usul Arin yang ditanggapi ekspresi mau muntah oleh Rosi yang memang dari dulu anti dengan makanan khas dari negeri sakura tersebut.

"Ndeso, lu! Taunya cendol dawet doang!" Arin bersungut.

"Kasih usul, Mei!" perintah Arin sambil menoleh ke belakang. Ke arahku.

Jangankan memberi usul, membayangkan segala jenis makanan pun aku tak berselera. Ikut dengan mereka sekedar untuk mengusir kejenuhan yang kurasakan sejak beberapa waktu terakhir.

"Si Mei bengong. Masih shock lo Mei, abis diinterview sama beruang kutub?" ujar Rosi yang membuat gelak tawa Arin pecah. Mau tak mau aku pun ikut tersenyum juga mengingat wajah pak Farhan yang cukup lumayan itu disamakan dengan beruang kutub oleh bawahannya.

"Horor ya, Mei?" Rosi penasaran sambil sesekali menoleh kepadaku.

"Biasa aja. Yang horor justru kejadian setelah interview-nya," jawabku.

Arin langsung merubah posisi duduknya agak menyamping. Kami kini bisa saling bertatapan dengan leluasa.

"Hah, apaan? Lo ketemu demit, Mei?" tanya Arin. Mimik wajahnya begitu serius.

Aku membuang pandang ke samping, menembus jendela kaca mobil Rosi, melihat lalu lintas di sekeliling kami. Aku bingung harus mulai darimana untuk menceritakan semua ini pada kedua sahabatku.

"Mei ... lo lagi ada masalah, ya?"

Kali ini nada suara Rosi bahkan melembut, seakan bisa membaca perubahan suasana hatiku.

Aku berusaha kuat menahan godaan untuk menangis karena tak mau terlihat lemah. Tapi tetap saja, dikhianati ternyata begitu sakit.

Dikhianati membuat diri ini merasa tak berharga hingga mas Arya dengan mudah menukar keutuhan rumah tangga kami dengan kenikmatan sesaat bersama wanita lain.

Suasana hening di dalam kendaraan yang terus melaju. Ada sedikit sesal karena membuat Rosi dan Arin ikut terseret dalam suasana hatiku yang sedang terpuruk.

Tidak. Aku tidak boleh egois. Ini hidupku, masalahku, tak seharusnya aku membuat orang lain turut merasakan nestapa yang menimpaku. Aku tak ingin menjadi perusak suasana dalam reuni kami bertiga setelah sekian lama.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang