Pintu lift terbuka. Semua orang yang ada di dalamnya pun keluar satu per satu. Karena aku berada di posisi paling belakang, maka otomatis aku juga yang paling terakhir keluar.
"Meira, tunggu!" Langkah kakiku mengikuti pak Farhan pun terhenti saat suara mas Arya memanggilku. Tak hanya aku yang merasa kaget, namun pak Farhan serta Renita juga sepertinya merasakan hal yang sama.
Mas Arya melangkah cepat untuk mencapai tempat di mana aku berdiri.
"Kita perlu bicara," ucapnya sambil menarik tanganku seenaknya.
"Mas!" Kudengar Renita bersuara. Tatapan perempuan itu seakan memprotes apa yang tengah dilakukan mas Arya terhadapku.
"Lepaskan aku, Mas. Sebelum nanti kau malu karena jadi tontonan banyak orang."
Renita semakin mendekat. Mas Arya terlihat gamang antara melepaskanku atau tetap nekat memaksaku mengikutinya.
"Apa-apaan ini? Kenapa kamu masih mengganggu dia?" Renita berkata pada mas Arya. Kemudian dengan cepat dia melepaskan tangan mas Arya dari tanganku.
"Kamu nggak mandang aku, Mas? Di depan mata aku kamu masih ngejar-ngejar mantan istrimu?" Renita bertanya galak pada mas Arya.
"Dia masih istriku. Aku belum menceraikannya, Ren." Mas Arya menjawab Renita.
"Sebentar lagi gelar kita cuma 'mantan', Mas. Jika kamu tak kunjung menggugat, maka aku yang akan melakukannya," ujarku menyela pertengkaran dua manusia yang tak tahu malu ini.
"Sekarang lo lihat sendiri kan, dia masih berupaya rujuk ke gue. Sebaiknya mulai sekarang lo pegang tali kekangnya kuat-kuat, biar dia nggak lepas." Kuarahkan ucapanku pada Renita yang memasang tampang cemberut.
Aku melihat ke arah pak Farhan yang masih berdiri memandang kami dari kejauhan. Merasa tak enak, aku pun segera menyusul boss-ku itu tanpa peduli lagi pada mas Arya dan Renita yang kini jadi berdebat sendiri. Bodo amat!
"Maaf, Pak," ucapku saat sudah tiba di depan pak Farhan. Lelaki itu mengangguk tanpa bicara sepatah kata pun. Apa mungkin dia marah karena harus menungguku tadi? Arghh ... sialan mas Arya. Gara-gara kelakuannya tadi aku bisa kehilangan muka di depan pak Farhan.
Aku menaiki mobil Lexus warna putih milik pak Farhan yang terparkir gagah di lapangan. Seperti de javu, ingatanku kembali ke saat pertama kali menaiki mobil yang sama gara-gara Lany yang salah mengira bahwa mobil pak Farhan adalah taksi yang dipesannya melalui aplikasi online.
"Meira, kenapa duduk di belakang? Saya bukan driver taksi online, loh. Pindah sini." Pak Farhan menunjuk kursi penumpang yang kosong di sebelahnya.
Alamak!
Mukaku rasanya panas karena malu. Ternyata pak Farhan mengenaliku selama ini. Ia sadar bahwa sekretarisnya ini adalah orang yang kemarin salah naik ke mobilnya malam-malam. Tapi kenapa pas interview kemarin dia nggak bilang apa-apa, ya?
Dengan masih menahan malu, aku pun pindah ke depan, duduk di samping pak Farhan.
"Cukup sekali aja saya jadi driver taksi online salah sasaran." Pak Farhan menggumam seperti bicara sendirian sembari mulai mengemudikan mobil.
Sedang aku masih mati-matian meredam perasaan malu yang kurasakan.
"Pak, saya minta maaf atas kesalahan kami waktu itu. Terima kasih karena Bapak sudah mengantar saya membawa anak saya sampai ke rumah sakit." Aku akhirnya bisa menguasai perasaan dan merangkai kata untuk diucapkan pada pak Farhan.
Lelaki itu hanya ber 'Hemm' ria tanpa menoleh padaku. Dilihat dari samping begini, wajah yang selalu berekspresi datar itu ternyata jauh lebih baik. Setidaknya, aku tidak perlu menatap matanya yang selalu punya efek menghipnotis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
RomanceJika pernikahan yang dijalani hanya menghadirkan luka bagi salah satu pihak saja, maka bisa saja kebahagiaan bisa teraih setelah berpisah.