Aku terduduk di tepian ranjang sesaat setelah mas Arya menghilang dari balik pintu kamar. Kutundukkan wajah menatap lantai sambil kedua tangan bertumpu di atas lutut.
Berkali-kali ku hela nafas agar sesak di dada sedikit berkurang. Aku tidak sedang dalam keadaan sedih saat ini. Justru aku sangat marah pada mas Arya hingga air mata pun enggan keluar. Tak dapat kupercaya apa yang kudengar dari mulutnya tadi. Terutama yang dikatakannya tentang ibu.
Wanita yang telah melahirkan, mendidik, serta membesarkanku. Sungguh, jika kuberikan seisi dunia sekali pun, tak kan cukup untuk membayar semua jasa ibu yang rela bertaruh nyawa demi melahirkan aku ke dunia.
Teganya mas Arya. Hanya karena masalah sepele, ia melukai hati ini begitu dalamnya. Pengorbananku dengan selalu menuruti pintanya seakan sia-sia. Ia sendiri yang meyakinkan aku bahwa ia sanggup diandalkan. Ia pula yang menyodorkan bahu untuk tempat bersandar.
Tapi mengapa saat semua terasa aman dan nyaman ia justru berulah? Berbagai pikiran memenuhi ruang dalam benakku. Kata-katanya seakan terus menggema di telinga. Hingga malam makin beranjak larut, tanpa sadar aku pun tertidur. Melepaskan diri sejenak dari kemelut hati.
****
"Mana Arya, Mei? Kok nggak ikut sarapan?" Pertanyaan dari ibu yang sangat aku takutkan pagi ini pun akhirnya terlontar. Entah apa yang harus kujelaskan pada ibu yang begitu menyayangi mas Arya karena merasa berhutang budi pada lelaki itu.
Dia dianggap pahlawan oleh semua orang di rumah ini, termasuk aku, karena sudah membiayai pengobatan ibu selama ini, juga kuliah Lany.
"Mbak, ditanyain malah bengong?" Ucapan Lany menyentakku yang secara tak sadar jadi sibuk dengan pemikiran sendiri.
"Ada apa, Mei? Semua baik-baik saja, kan?" Ibu menyambung. Ada sorot khawatir di matanya yang sudah dikelilingi oleh kerutan itu.
"Iya, Bu. Semua baik-baik saja," kujawab cepat, namun semua orang pun tahu bahwa aku tak pandai berbohong. Gugup adalah salah satu ciriku jika sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu.
Kuambil Valetta dari pangkuan Lany untuk menyibukkan diri.
"Ibu dan Lany makanlah. Aku mau mengganti popok Valetta sebentar," ucapku sambil berjalan menggendong Valetta menuju kamar. Kupikir aku telah selamat dari interogasi ibu. Namun yang terjadi selanjutnya membuat upayaku untuk menjaga perasaan ibu malah jadi sia-sia.
Suara ketukan yang lebih menyerupai gedoran di pintu rumah mengagetkan kami semua. Langkahku terhenti, beralih menatap ibu dan Lany yang juga menatapku.
"Biar aku saja Mbak, yang buka," cegah Lany ketika dilihatnya aku hendak menuju ke arah pintu. Kuanggukkan kepala sambil berdiri diam, menerka-nerka siapa gerangan yang datang mengetuk pintu dengan cara kurang sopan itu.
"Mas Arya?" Terdengar suara Lany setelah pintu terbuka.
"Mana kakakmu?" Sebuah suara lain terdengar pula. Lalu tak lama, suara langkah-langkah kaki terdengar berjalan mendekat.
Betapa terperanjat aku ketika melihat mas Arya datang bersama mamanya yang adalah mertuaku juga.
"Hei, Meira!" Lantang suara perempuan yang kupanggil mama itu saat memanggil namaku. Ibu langsung berdiri ketika melihat besannya datang pada waktu dan situasi yang tak terduga.
"Ada apa ini, Bu? Kenapa teriak-teriak begitu? Mari kita duduk dulu," ucap ibu yang sebenarnya merasa terkejut.
"Alah ... nggak usah! Aku ke sini untuk memberi perhitungan dengan perempuan tak tahu diri ini!" tegas suara mama sambil menudingkan telunjuknya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
RomanceJika pernikahan yang dijalani hanya menghadirkan luka bagi salah satu pihak saja, maka bisa saja kebahagiaan bisa teraih setelah berpisah.