Part 16

7K 476 2
                                    

"Kalian lihat nggak matanya si Renita tadi?" bisik Arin setelah kami berada di dalam lift. Kebetulan hanya ada beberapa orang saja yang bersama kami, itu pun karyawan laki-laki yang tak mungkin mau tahu dengan obrolan antar wanita.

Rosi mengangguk dengan bibir bawah mencebik ke depan. "Iya, lihat." ujarnya sambil melipat tangan di dada.

"Uggh ... rasanya pengen gue colok biji matanya pake dua jari pas dia ngeliatin si Mei sampe segitunya! Sok kecakepan. Asli!" bisik Arin dengan suara menggeram. Aku tertawa sambil menggelengkan kepala. Ada-ada saja memang si Arin ini.

"Kok lo bisa santuy gitu sih, Mei? Nggak pengen apa ngejenggut rambutnya sampe botak? Atau telanjangin gitu biar viral dan malu sekalian dia. Kalo gue jadi Meira, uhh ... gue kulitin idup-idup si culametan itu!" Arin berkata lagi.

"Nggak lah. Gue nggak mau jatohin martabat dengan ribut sama cewek kayak dia, Rin. Bisa bikin gue turun kelas," jawabku santai.

"Iya juga, sih. Lagian, kalau si Mei sampe adu jotos sama si Renita, yang seneng pasti si Arya karena merasa jadi rebutan." kata Rosi yang sependapat denganku.

"Nah, makanya ..." Aku menyahut.

"Najis!" timpal Arin sambil memasang wajah jijik.

Satu per satu kami turun di lantai tujuan masing-masing untuk kembali bekerja. Hanya ruanganku yang paling jauh di antara kami bertiga. Arin di lantai lima, sedang Rosi di lantai sembilan, dan aku di lantai sepuluh.

Kembali memasuki ruangan kerjaku, suasana terasa hening. Pak Farhan tadi sudah berpesan bahwa ia tak akan kembali ke kantor setelah jam istirahat kerja. Ia juga berpesan agar aku menge-print email dari PT Agung Perkasa Tbk.

Baiklah, akan kubuktikan pada si mister kanebo bahwa perusahaannya tak akan merugi karena menggaji karyawan sepertiku dengan menjalankan pekerjaan sebaik-baiknya.

Beberapa lembar kertas berisi email yang telah ku-print itu kususun rapi, kemudian kujepit dengan paper clip agar tak berantakan nanti ketika dibaca oleh pak Farhan. Setelah itu, kuletakkan lembaran-lembaran yang berisi kontrak kerjasama tersebut di atas meja kerjanya.

Selesai dengan tugas yang satu ini, aku kembali bingung harus mengerjakan apalagi. Sungguh membosankan berada di ruangan ini. Tak ada tantangannya dan aku merasa terasing. Ditambah lagi, bossku adalah tipikal manusia yang irit bicara. Serasa bekerja dibawah pimpinan dementor.

Raut wajah yang selalu datar itu seakan tak pernah mencecap kebahagiaan sepanjang hidupnya. Dan parahnya lagi, sikap pak Farhan tersebut seakan turut menyedot semua keceriaan dan kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. Termasuk aku. Benar-benar seperti dementor dia!

Kuperhatikan sekeliling ruangan yang bersih dan rapi namun tampak membosankan ini. Tak ada hiasan dinding atau benda-benda pajangan yang berfungsi menjadi pemanis ruangan.

Tiba-tiba aku punya ide. Di rumah, untuk mengisi waktu kosong sambil mengurus Letta, aku biasa membuat hiasan bunga dari bahan sintetis.

Biasanya Lany menjual bunga-bunga buatan kami itu pada teman-teman kampusnya atau dijual secara online. Seingatku, masih ada sisa yang belum terjual tersimpan di rumah. Besok aku akan membawa beberapa agar ruangan ini tampak lebih hidup dan berwarna.

Siapa tahu dengan begitu pak Farhan yang selalu bersikap dingin itu bisa sedikit mencair dari kebekuannya, dan ruangan ini jadi tak terlalu suram seperti masa depanku.

Ponselku tiba-tiba berbunyi. Karena tak ada pak Farhan, maka aku berani mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk mengetahui siapa yang menelepon.

Semangatku merosot seketika saat nama mas Arya terpampang di layar. Mau apalagi sih dia? Tak ada bosannya ia menggangguku. Saat tengah menimbang untuk menjawabnya atau tidak, pintu ruang kerjaku tiba-tiba terbuka dengan suara keras karena disentak kasar oleh seseorang.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang