Part 5

7.3K 451 7
                                    

Aku baru selesai mandi ketika teleponku berdering. Kusambar benda kecil tersebut cepat sebelum deringannya membangunkan Valetta yang baru saja tertidur setelah meminum obat.

"Halo, Rin?" sambutku mengetahui Arin yang menelepon.

"Hai, Mei. Gimana, CV-nya udah siap belom?" suara Arin terdengar di seberang sana.

"Iya, udah. Ini gue baru selesai mandi. Tadi abis ngurusin Valetta," jawabku.

"Oh, gitu. Eh tapi Mei, tadi gue ketemu laki lo. Tapi kok dia bilang nggak tau ya kalau lo mau comeback kerja di sini lagi?"

Perasaanku seketika berubah tak nyaman mendengar penuturan Arin. Tentu saja mas Arya tak tahu jika aku berkeinginan kembali bekerja di kantor yang sama dengannya seperti dulu. Tapi bukan salah Arin juga yang bertanya. Posisi Arin saat ini kan belum mengetahui soal kisruh dalam rumah tanggaku.

Serba salah memang. Apa harus kuberitahu Arin sekarang juga soal ini?

"Woy, kok diem?" suara Arin memecahkan lamunanku.

"Hmm nanti aja deh kita omongin, Rin. Abis ini gue kirim dulu CV nya via email. Terus, kapan kira-kira gue bisa mulai kerja?" Kuberondong Arin dengan pertanyaan agar ia melupakan topik pembicaraan yang tadi.

"Busetttt ... interview aja belom lo dah langsung nanya kapan mulai kerja aja. Gak sekalian lo tanya gajinya berapa? Gue sleding juga lo ...."

Tawaku pecah tertahan mendengar ocehan Arin.

"Oh, masih harus interview lagi nih, gue? Kirain punya temen anak HRD gak perlu tes apa-apa lagi gue," candaku menggodanya.

"Ha ha ha. Masih, Oneng. Lo kudu di tes interview lagi kali ini. Soalnya, calon boss lo maunya interview sendiri calon sekretaris yang bakal ngelayanin dia. Katanya sih, mau lihat sendiri kualitas orang yang bakal jadi sekretarisnya. Mampus kan, dese orangnya perfeksionis, sih."

Jawaban Arin membuat kening seketika berkerut. Sekretaris? Bukannya dulu aku ditempatkan di bagian marketing? Kenapa sekarang jadi terlempar ke bagian sekretaris?

"Kok jadi sekretaris, Rin? Nggak salah lo cariin gue tempat?" protesku.

"Yaa bagian lain semua penuh, Mei. Kebetulan, yang bakal lo gantiin ini baru aja resign. Itu loh, si Yessi. Ingat gak lo?"

Aku mencoba mengingat-ingat sosok bernama Yessi yang barusan Arin sebut. Lalu saat memori otakku menemukan figur Yessi yang dimaksud, aku pun manggut-manggut meski Arin tidak bisa melihatku melakukannya.

"Hooh gue inget. Yang seksi abis itu, kan?" jawabku.

"Iyes. Yang dagunya pake silicon itu. Dia dapat laki bule, dan resign karena ikut pindah ke Aussie, kampung halaman si bule itu. Beruntung banget ya, si Yessi." cerocos Arin.

"Hei, kok kita jadi ghibahin orang sih, Rin? Dosa tauk!" cetusku menggodanya. Arin tergelak, lalu berkata, "ghibah adalah dosa ternikmat bagi semua wanita, Mei."

Aku pun terpingkal dibuatnya. Arin memang sering bersikap konyol, tiap kata-katanya selalu berhasil mengundang gelak orang-orang disekitarnya.

"Ngomong-ngomong Rin, siapa kira-kira yang bakal jadi boss gue?" tanyaku sejurus kemudian.

"Nah! Mampusss, gue lupa bilang. Masih inget lo tentang legenda kanebo kering? Pak Farhan? Dia calon bos lo, Meira."

Ada nada puas dalam ucapan Arin saat mengabarkan hal ini. Tapi karena aku belum pernah bertemu langsung dengan yang namanya pak Farhan, aku pun tak begitu terpengaruh dengan cerita Arin mengenai lelaki sedingin es seperti yang digambarkan oleh Arin tempo hari.

Setelah beberapa saat, kami pun mengakhiri pembicaraan. Segera aku berpakaian, lalu merapikan rambut yang masih lembab sehabis keramas tadi.

Kuambil laptop milikku yang jarang kupakai sejak aku resmi berhenti bekerja dua tahun yang lalu.

Kumasukkan file berisi dokumen yang diperlukan untuk melengkapi CV-ku guna melamar kerja. Tepat aku selesai mengerjakan semua, tepat itu pula Letta terbangun dan menangis.

Kulipat lagi laptop, lalu kusimpan lagi ke tempat aku mengambilnya tadi. Untuk urusan begini, aku memang terbilang rapi. Di mana aku mengambil barang, di situ pula aku akan mengembalikannya agar tak susah payah mencari saat diperlukan.

Kuraih Letta dalam gendonganku lalu memberinya asi sambil menepuk bokongnya pelan. Kupandangi wajah Letta yang asik menyusu, seraya kutelusuri dengan ujung jari.

Mas Arya, tahu kah kau bahwa anakmu kini sedang sakit? Tak ada kah rasa rindu dihatimu kepada darah dagingmu sendiri? Sejak ia meninggalkan rumah bersama mamanya hampir seminggu yang lalu, tak sekali pun ia setidaknya menghubungi untuk menanyakan Letta.

Bukannya aku berharap ia kembali, tidak sama sekali. Hanya saja, walau bagaimanapun Letta pasti merindukan sosok papanya yang sudah sepekan ini tak dilihat atau mengajaknya bermain seperti biasa.

Tapi tak apa, mungkin mas Arya masih gengsi menghubungiku meski hanya untuk sekedar menanyakan anaknya.

Selesai menyusu, kutitipkan Letta pada ibu sebentar karena aku hendak merapikan sisa barang-barang mas Arya, termasuk pakaiannya yang masih tertinggal di lemari pakaian kami.

Hatiku memang sudah mentah pada laki-laki itu. Aku sendiri heran, mengapa begitu mudah rasa cinta ini menguap begitu saja. Tak ada lagi jejak kenangan bersamanya yang hendak kuingat atau kusimpan. Karena itu aku ingin semua hal yang 'berbau' mas Arya masih ada di kamar kami. Akan kusterilkan ruangan ini dari benda-benda yang bisa mengingatkanku akan dirinya. Kisah kami usai di usia pernikahan yang baru seumur jagung. Aku ikhlas menerima takdir, tak ada lagi yang perlu disesalkan.

Saat membereskan sisa pakaian kerja mas Arya yang masih tergantung di balik pintu, ada benda yang teraba di bagian saku celananya ketika hendak kulipat. Penasaran, kurogohkan tangan ke dalam.

Alangkah terkejutnya aku ketika kutemukan kotak bungkusan kondom yang telah kosong isinya. Mendadak dadaku berdebar kencang mendapati 'sesuatu' yang baru ini.

Masih ada lagi yang teraba jariku tersimpan dalam saku tadi. Dengan terburu-buru, seiring irama nafas yang kian cepat, kukeluarkan semua isi dalam saku tersebut ke atas kasur.

Ada beberapa nota pembayaran. Kuperiksa satu per satu, kebanyakan adalah bill makanan di restoran tertentu dengan nominal tagihan cukup besar. Baru tahu aku kalau mas Arya cukup royal di luaran.

Sebenarnya tak masalah bagiku, selama jatah bulananku tetap tercukupi. Kupikir, sebagai orang yang mencari uang di rumah ini, mas Arya juga berhak menikmati kerja kerasnya sesekali.

Kusingkirkan kertas-kertas nota tadi ke dalam tempat sampah kecil yang terletak di sudut kamar, dekat pintu. Namun saat membuka tutup tempat sampah, secara tak sengaja mataku menangkap sesuatu berwarna putih seperti sebuah amplop.

Logo hotel pada sampul amplop itulah yang menarik perhatianku.

Hotel Inn, nama hotel tersebut tercetak di pojok kanan amplop. Cepat kubuka isinya, terdapat bukti bookingan beserta nominal tagihan atas nama Arya Kamandanu, nama lengkap suamiku.

Bungkus kondom dan bill pembayaran kamar hotel. Apakah kedua hal ini saling berkaitan? Dadaku kembali bergemuruh membayangkan hal yang sekarang melintasi pikiran.

Kenapa ada bungkus kondom di saku celana mas Arya? Tidak mungkin itu milik orang lain yang kebetulan kutemukan dalam saku celana lelaki itu. Tapi dengan siapa ia menghabiskan kondom berjumlah tiga buah dalam kotak pembungkus kondom tersebut? Apakah selama ini mas Arya diam-diam telah berkhianat? Apakah sebenarnya ini yang melatarbelakangi sikapnya yang mendadak berubah?

Berbagai tanya tak terjawab memenuhi benak dalam diriku. Jika memang benar begitu, maka tanpa keraguan lagi aku harus meninggalkan laki-laki itu. Kupejamkan mata seraya meremas kuat benda-benda yang kutemukan itu ditanganku.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang