"Ada apa lagi Mas kamu menelepon?" Aku berkata dengan malas ketika menjawab panggilan mas Arya. Mata rasanya sudah mengantuk dan aku ingin sekali beristirahat.
"Ini terakhir kali aku menawarkan kepadamu. Kita rujuk atau aku akan mengambil alih hak asuh Valetta jika kamu tetap bersikeras minta cerai." Kata-kata mas Arya menghambur tanpa basa basi, membuat rasa kantuk seketika menguap. Aku terkesiap dan merubah posisi menjadi duduk di atas kasur.
Jemariku bergerak memutar-mutar anak kancing piyama yang kupakai malam ini. Terdengar mas Arya terkekeh pelan di ujung sana.
"Bagaimana? Tawaran yang bagus, bukan? Pikirkanlah," katanya.
Aku beringsut turun dari atas ranjang dan berjalan mendekati jendela. Kusibak gorden yang menutupi kaca, hingga terpampang kerlap-kerlip lampu dari kendaraan yang masih berlalu lalang di luar sana.
"Kamu mau ambil Valetta, Mas? Silahkan, ambillah." Kataku setelah berhasil memilih kata-kata yang tepat untuk menangkis ancaman mas Arya.
Sunyi di ujung sana.
Aku tersenyum membayangkan wajah mas Arya saat ini. Dia pikir bisa memaksaku kembali lewat anak kami, namun responku justru tak terduga.
Aku kenal mas Arya. Dia sayang pada Valetta anak kami, namun untuk mengurus Valetta sepenuhnya, ia tak kan mau dan tak kan mampu.
Ibu mas Arya bukanlah tipikal orang tua yang menyukai anak kecil. Pun sejak Valetta hadir di tengah-tengah kami, jarang sekali ibu mas Arya menjenguk Valetta. Jika pun kami yang berkunjung ke rumah beliau, ibu tak pernah betah berlama-lama menggendong Valetta atau hanya sekedar mengajak cucunya itu bermain.
Ia akan selalu mengkhawatirkan pakaiannya yang takut menjadi kusut, atau terkena ompol Valetta. Padahal ia tahu, Valetta selalu memakai diaper.
Dengan kenyataan seperti itu, sudah bisa dipastikan kalau mertuaku itu tentu tak akan mau direpotkan mengasuh cucu berusia balita dan sedang aktif-aktifnya.
"Kalau kamu sudah selesai bicaranya aku tutup teleponnya ya, Mas. Katakan saja kapan kamu siap mengambil Valetta."
Klik. Sambungan terputus, aku tersenyum puas. Namun sebenarnya ada yang sedikit mengganjal. Kenapa mas Arya tiba-tiba ingin rujuk dan kembali? Bukannya dia pun sudah punya wanita lain, lalu kenapa dia masih menginginkan aku? Apa sebenarnya yang dimau mas Arya?
****
Tiga hari lewat sudah setelah interview hari itu. Tapi kabar yang menyatakan diterima atau tidaknya aku di perusahaan, masih belum kuterima hingga sekarang.
Simpanan uang makin menipis, begitu pula barang-barang kebutuhan di rumah, termasuk susu dan diapers Valetta. Aku mulai gelisah. Bagaimana jika aku tak lolos seleksi dalam sesi wawancara kemarin? Kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?
Aku berjalan pelan menuju lemari pakaian. Membuka pintunya hingga laci tempat aku menyimpan barang-barang berharga terlihat.
Dengan gamang, aku menarik laci hingga membuka. Benda berwarna cokelat kayu berbentuk persegi itu menyembul. Kuambil, lalu kuletakkan di atas kasur.
Beberapa perhiasan yang tak terlalu banyak jumlahnya itu terlihat setelah aku membuka tutup kotak perhiasan. Sebagian adalah hasil tabunganku sebelum menikah dulu, sedang sebagian lagi adalah hasil dari menyisihkan uang belanja yang diberikan mas Arya dulu.
Jika ini semua dijual, mungkin dapat menyambung hidup untuk satu atau dua bulan kalau kami irit. Tapi bagaimana setelahnya aku masih belum juga bekerja? Kepalaku mendadak berdenyut nyeri. Pusing memikirkan semua hal yang membuat dada jadi sesak.
Di tengah kekalutan pikiranku akan hari esok, aku dikejutkan oleh bunyi ponsel yang berdering nyaring.
Arin!
"Bismillah, semoga Arin menyampaikan kabar bahagia." Doaku sungguh-sungguh.
"Halo, Rin?"
"Halo, Mei? Lagi sibuk nggak?" suara Arin terdengar. Aku mengerutkan kening. Sepertinya aku salah sangka akan maksud Arin meneleponku.
Jika hendak mengabarkan bahwa aku diterima bekerja, untuk apa ia menanyai kabarku segala?
"Enggak, Rin. Ada apa?"
"Lo siap-siap, ya? Setengah jam lagi gue sama Rosi tiba di rumah lo. Nih kita udah mau otewe," cetus Arin di seberang sana. Ia kedengaran sangat bersemangat. Samar terdengar pula suara lainnya yang kupastikan itu adalah suara Rosi.
"Mau kemana emangnya? Pada nggak kerja?" tanyaku bingung sekaligus cemas. Cemas karena takut jika mereka akan mengajakku makan di suatu tempat. Karena keuanganku sedang benar-benar sekarat sekarang.
Arin maupun Rosi tentu tak kan keberatan untuk mentraktirku. Tapi aku sudah terbiasa dari dulu untuk tidak meminta-minta pada orang lain, apalagi memanfaatkan teman sendiri dengan kisah sedih, mentang-mentang aku sedang susah seperti sekarang ini.
"Lupa ya, Nek? Sabtu kan kantor buka cuma setengah hari. Udah, lo cepetan siap-siap sana. Bye ...!"
Arin menutup telepon sebelum aku sempat mengatakan apa pun. Hfftt ... haruskah aku mengikuti mau mereka kali ini? Mereka mau mengajakku kemana sih, sebenarnya?
Aku menggaruk-garuk kepala. Bingung sendiri. Tapi tak urung aku bergerak juga untuk bersiap-siap setelah sebelumnya kusimpan lagi kotak perhiasan yang kukeluarkan tadi.
"Mau kemana Mei?" Ibu bertanya ketika aku keluar kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Tatapannya menyelidik.
"Mau keluar sama Rosi dan Arin, Bu. Bentar lagi mereka datang jemput ke sini. Mei titip Letta, boleh? Atau Mei bawa aja?" tanyaku ragu. Kasihan pada ibu jika harus menjaga Letta sendirian. Lany mungkin akan tiba di rumah sekitar beberapa jam lagi.
"Nggak usah, Mei. Letta kan baru sembuh, nanti kamu bawa keluar takutnya dia masih rentan. Udah, kamu pergi aja. Biar Ibu yang jaga Letta. Tadi bulekmu juga telepon, katanya mau kemari nganter undangan," jawab ibu panjang lebar.
"Bulek Wati, Bu?" Aku menyebut nama adik ibu yang paling bontot sekaligus paling dekat dengan kami.
Ibu mengangguk.
"Siapa yang nikah? Bukannya anak bulek udah nikah semua?" tanyaku bingung.
"Hush! Yang bilang undangan nikah itu sopo? Orang undangan aqiqahan, kok."
Aku menepuk jidat. Kukira bulek Wati yang mau menikah lagi. Secara bulek memang sudah lama menjanda sejak kepergian suami beliau karena mengalami kecelakaan.
"Assalamualaikum ..."
Koor suara di depan pintu menghentikan pembicaraanku dengan ibu. Itu pasti Rosi dan Arin. Aku beranjak untuk membuka pintu. Keduanya telah berdiri di sana masih dengan pakaian kerja mereka.
"Masuk dulu, yuk," ajakku sambil melebarkan pintu. Keduanya masuk mengekor di belakangku.
Ibu berdiri menyambut mereka sambil menggendong Letta. Rosi serta Arin mencium punggung tangan ibu bergantian.
"Ih, Valetta cantik banget," puji Arin sambil menoel gemas dagu Valetta. Anakku yang selalu takut dengan orang asing segera menggeliat dan memeluk neneknya.
"Minggir, Rin. Ni anak kecil emang polos dan masih suci, jadi dia takut ngeliat ada setan di siang bolong begini." Goda Rosi pada Arin yang langsung pura-pura manyun. Kami semua pun tertawa.
"Mau minum dulu, nggak?" tawarku. Arin dan Rosi kompak menggeleng.
"Entar aja sekalian, Mei. Abis jalan, kita makan."
Glek!
Aku menelan ludah mendengar ucapan Rosi. Tuh, kan? Benar dugaanku. Andai saja keadaan tidak sesulit sekarang, pastinya aku tak akan keberatan mereka mengajakku ke mana saja.
"Mau cabut sekarang?" tanyaku setengah hati.
"Boleh, boleh." Cepat keduanya menyahut. Kami pun pamit pada ibu sebelum pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
RomanceJika pernikahan yang dijalani hanya menghadirkan luka bagi salah satu pihak saja, maka bisa saja kebahagiaan bisa teraih setelah berpisah.