Part 18

7K 498 6
                                    

"S-selamat pagi, Pak," sapaku pada pak Farhan yang terlihat rapi seperti biasanya.

"Pagi," gumamnya. Ck, nggak bisa apa ngejawab dengan lebih jelas biar nggak kayak orang lagi kena sariawan gitu?

Kuletakkan bunga sintetis yang kubawa dari rumah ke atas bufet tempat menyimpan arsip-arsip perusahaan. Saat aku berbalik, ternyata pak Farhan sedang memperhatikan apa yang tengah kulakukan.

"Maaf kalau saya lancang, Pak. Hanya ingin memberi sedikit sentuhan biar ruangan gak terlihat 'kosong'," ucapku tak enak hati. Takut pak Farhan tidak berkenan dengan usahaku memperindah ruangan.

Pria berwajah kaku itu hanga mengangguk, lalu kemudian memalingkan wajahnya kembali menghadap layar komputer di depannya.

Aku pun kembali ke meja kerjaku. Menyalakan komputer dan mengecek beberapa file yang masuk. Saat sedang sibuk mencatat beberapa temu janji untuk pak Farhan ke dalam agenda, tiba-tiba kulihat lelaki itu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil memicit pangkal hidungnya dan menundukkan wajah. Ia terlihat lelah.

Keadaan pak Farhan yang seperti itu membuatku sedikit khawatir. Kulihat mejanya yang masih kosong. OB yang biasanya mengantarkan minuman untuk pak Farhan sepertinya belum mengerjakan tugas rutinnya hari ini.

"Ehm ... maaf, Pak. Mau saya buatkan kopi?" Kuberanikan diri untuk menawarinya secangkir kopi. Meski ini bukan tugasku, tapi tak mengapalah sesekali.

Pak Farhan langsung mendongak. Saat itulah kulihat jelas kedua matanya sedikit memerah, sepertinya pak Farhan kurang tidur semalam.

Mendengar tawaranku tadi, bukannya menjawab, pak Farhan justru bengong sambil memandangiku. Apa aku telah salah bicara, ya? 'Nawarin kopi emangnya salah?' Aku membatin sendiri.

"Maaf Pak, kalau tidak berkenan," ujarku dan hendak kembali duduk.

"Boleh. Tolong jangan banyak gula."

Ucapannya mengurungkan niatku yang tadi hendak melanjutkan pekerjaanku.

"Baik, Pak."

Segera aku keluar ruangan dan menuju pantry yang terletak di lantai yang sama.

"Loh, Mbak lagi ngapain?"

Mbak Sani, OB yang biasa bertugas melempar tanya dengan ekspresi kaget saat melihatku sedang meracik kopi untuk pak Farhan di pantry. Diletakkannya sapu dan sekop yang baru digunakannya untuk membersihkan seluruh ruangan di lantai sepuluh.

"Bikin kopi untuk bapak, Mbak Sani," jawabku seraya melempar senyum. Mbak Sani tampaknya tak enak hati karena aku menggantikan tugasnya hari ini membuat minuman untuk big boss kami itu.

"Bapak marah ya, Mbak? Duh, gimana ini? Saya tadi memang datang sedikit terlambat karena anak lagi sakit mbak Mei." Mbak Sani berkata dengan raut sedih di wajahnya.

Kutepuk pundaknya pelan untuk menenangkan perempuan usia empat puluhan ini. "Nggak kok, mbak Sani. Bapak nggak marah. Saya cuma kasihan karena Bapak kayaknya suntuk banget. Makanya saya berinisiatif membuatkan beliau ini," tunjukku pada cangkir berisi kopi panas yang sudah jadi. Mbak Sani langsung menarik nafas lega.

"Saya anter ke bapak dulu ya, Mbak. Semoga anak mbak Sani cepat sembuh, ya?" ujarku sambil membawa cangkir kopi yang kuletakkan di atas nampan kecil menuju kembali ke ruangan kami.

"Permisi, Pak," ucapku sambil meletakkan cangkir berisi kopi panas dengan hati-hati di meja kerja pak Farhan. Lelaki itu diam saja tak mengatakan apa-apa. Diam saja seperti patung. Suka-sukanya lah,' batinku sedikit kesal dengan perangainya yang sulit ditebak.

Setelahnya, aku pun kembali lagi ke pantry untuk mengembalikan nampan yang tadi kupakai. Mbak Sani menyambutku sambil tersenyum.

"Mbak Meira tabah banget ya ngadepin pak Farhan," ujarnya saat menerima kembali nampan yang kuserahkan.

BAHAGIA SETELAH PERCERAIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang