berkecamuk

1.6K 92 0
                                    

Kay's pov

Ada gejolak hebat saat melihat Putri berlutut di sampingku sembari memegangi tanganku. Semakin kuat aku menghempasnya, semakin kuat juga dia menggenggamnya.

"Aku tau aku salah Kay. Aku tau banget aku udah keterlaluan sama kamu. Aku minta maaf Kay." Aku menghempaskan genggaman tangannya.

"Tolong buat semua ini jauh lebih mudah." Aku memberanikan diri menatapnya. Sejujurnya ada gejolak hebat dalam diriku. Aku belum bisa ternyata melihatnya seperti ini. Tapi luka ini jauh lebih nyata.

"Seperti yang dulu pernah kamu bilang." Lajutku tajam. Aku harap setelah ini dia tidak lagi muncul dengan membawa luka lama itu.

"Kay." Putri bangkit dan mencekal kembali tanganku dengan kuat. Aku menghempasnya dengan lebih kuat. Membuatnya menatap sedih ke arahku.

"Kamu yang lebih dulu melepaskan Put."

Aku melangkah pergi. Tidak lagi perlu menengok ke belakang untuk melihatnya. Aku telah berjanji pada Sherly untuk menghapus luka itu, untuk menghilangkan semua kesakitan ini.

Sherly. Sherly. Sherly.

Hanya nama itu yang selalu menjadi jimat untukku, untuk mengumpulkan kekuatanku.

**

Aku membuka pintu kamar rawat Sherly dengan terburu-buru. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku merasakan tubuhku seolah kembali terbakar. Aku butuh pendingin pada tubuhku. Sherly dan Rida melihatku dengan wajah penuh tanda tanya.

"Kay.." Sherly memanggilku yang masih mematung di pintu sembari melihatinya.

Tiba-tiba muncul perasaan bersalah dalam diriku.

'Adilkah ini semua untuk Sherly? Dia lah yang selalu menyembuhkan lukaku, padahal bukan dia penyebabnya.'

"Kay.." Teriaknya dengan nada lebih kencang. Aku memaksakan diri untuk tersenyum melihatnya.

Aku berjalan dan langsung menyamankan diri dengan memeluknya. Memeluknya erat.

"Kenapa?" Bisiknya sembari mengusap pelan punggungku.

"Maaf.." Kataku dengan butiran bening yang mulai menetes di pipiku. Sherly tidak menjawab ucapanku, dia hanya menyumbangkan rasa nyamannya saja padaku.

Aku memeluknya semakin erat. Semakin menyalurkan rasa sakitku padanya, sementara dia menyumbangkan kenyamanannya padaku. Seperti anak kecil yang mengadu pada orang tuanya betapa sakitnya hidup yang ia jalani.

**

Putri's pov

Kay pergi. Dia benar-benar pergi tanpa menengok lagi ke belakang setelah menghempasku. Dia meninggalkanku disini sendiri dengan tangisan yang membasahi wajah. Sakit? Sangat.

Tapi aku tau Tuhan Maha adil. Dia sedang memberikan karmanya untukku. Beginilah yang Kay rasakan dulu. Saat aku menghempasnya, meninggalkannya sendiri tanpa mau menengok lagi ke belakang. Dan kini aku telah membayar kesakitan itu Kay.

Setelah merasa lebih baik, aku kembali menyiapkan mental untuk kembali ke ruang rawat Sherly yang memungkinkan aku bisa bertemu kembali dengan Kay.

Dengan perasaan tak menentu, aku memberanikan diri masuk. Dan pemandangan pertama yang ku saksikan begitu menyayat hati.

Kay tidur meringkuk disamping Sherly sembari memeluknya. Wajahnya ia benamkan di lekukan leher Sherly. Air mataku kembali mendesak untuk keluar, tapi aku tahan.

"Put, ngapain disitu aja?" Rida menyadarkanku dari kesakitan ini.

"Hah? Enggak. Udah Da?" Tanyaku sembari berjalan ke arahnya.

"Mau balik sekarang?" Aku melirik ke arah Sherly, dan dia tersenyum simpul padaku.

Apakah Kay sudah menceritakan semuanya? Apakah Sherly tau? Bagaimana dengan Rida?

Perasaanku semakin bercampur tak menentu.

"Yaudah yuk. Lagian ngapain aja lo lama banget. Hampir gue tinggalin." Rida berdiri dan mendekat ke arah Sherly.

"Balik dulu ya Sher. Cepet sembuh."

Sherly menatap aneh padaku. Dia memang tersenyum, tapi aku tau pasti ada sesuatu yang aneh dengan senyumnya. Ada sesuatu dibalik senyum itu. Seolah ada kecewa di dalamnya.

Tak banyak perbincangan selama perjalanan pulang. Rida memutuskan untuk ikut main ke rumahku. Dalam hati sebenarnya aku sedang ingin sendiri. Aku ingin menenangkan perasaanku setelah berhasil berbicara dengan Kay, meskipun tetap tidak ada titik temunya.

Kenapa dia masih sangat egois? Kenapa dia tidak mau mendengarkan penjelasanku kali ini?

Aku hanya ingin dia mendengarkannya. Tidak lebih. Setelah itu aku tidak akan menuntut lebih lagi darinya, karena aku tau persis bahwa seluruh hasil final hanya ada di dia.

"Put, gue ngantuk nih.. Nebeng tidur dong." Kata Rida saat aku mempersilahkannya untuk duduk di ruang tamu.

"Yaudah, ke kamar aja." Kataku santai sembari berjalan mendahuluinya.

"Masuk aja dulu, gue mau langsung mandi."

Ya, aku butuh menyegarkan kembali tubuhku. Menyiramkan air dingin sebanyak mungkin ke kepala dan sekujur tubuhku.

Aku sedikit lega saat deras shower menyentuh tubuhku dari kepala. Ini jauh lebih baik, membuat bebanku jauh lebih ringan. Tanpa aku sadari, aku mulai berhujan air mata kembali. Mengingat rasa sakit itu. Rasa sakit yang memang aku timbulkan sendiri.

Setelah mandi, aku memutuskan untuk mengaca di sebuah cermin yang cukup besar, yang bisa menampilkan hampir seluruh tubuhku. Ada guratan sedih dari wajah itu. Membuatku merasa tidak yakin bisa berakting di hadapan Rida dengan baik. Rida!

Ah iya. Aku hampir saja melupakannya bahwa dia berada di kamarku sekarang. Kamar? Tunggu dulu. Aku melupakan sesuatu. Secepat kilat aku langsung berlari ke kamarku dan membukanya dengan terburu-buru.

Benar saja dugaanku. Rida tengah berdiri di sudut kamar sembari memperhatikan satu per satu gambar yang tertempel di dinding. Rida tersenyum sesaat ke arahku, kemudian kembali melihat gambar dihadapannya.

"Udah lama kenal Kay?" tanyanya dengan nada yang sulit ku artikan.

Aku hanya mampu menunduk, menyalahkan keteledoranku yang membawa Rida harus melihat isi kamarku yang penuh dengan wajah Kay. Aku menutup pelan pintu kamar dan berjalan mendekati Rida. Seketika aku langsung memeluknya. Menumpahkan segala sakit ini. Memang aku membutuhkan teman untuk bisa berbicara dan berbagi.

Rida memelukku dan menenangkanku yang sudah terisak. Entahlah, saat ini sakit itu justru semakin terasa. Padahal tadi aku sudah sekuat tenaga menahannya, dan berusaha membuang pikiran ini jauh-jauh.

"Lo bisa cerita semuanya ke gue Put. Apa yang sebenarnya terjadi sama kalian? Gue tau dari awal ada sesuatu yang lo sembunyiin." Katanya sembari melepaskan pelukan kami, kemudian mengusap air mataku.

"Gue udah bener-bener kehilangan dia Da. Gue udah ga punya lagi kesempatan untuk sama dia."

"Emang masalah kalian tuh apa sih sebenarnya?" aku tersenyum kecut mendengar pertanyaannya.

"Gue yang pertama kali ninggalin dia Da, dan sekarang gue baru sadar setelah semua udah terlambat. Sekarang dia yang nolak dan ninggalin gue."

"Kay? Bisa kaya gitu? Gak mungkin deh Put. Gue bisa liat Kay bukan tipe orang yang kaya gitu."

"Ya, lo bener banget Da. Kay emang bukan orang kaya gitu. Gue yang udah bikin dia kaya gitu. Padahal lo tau gak? Dia pernah ngorbanin badannya buat ngelindungin gue." Aku tersenyum dalam tangis mengingat kenangan itu.

**

imposibble (girl x girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang