Author's pov
Ada perasaan yang berkecamuk di hati Kay, saat menemukan sosok itu kembali. Sebetulnya dia sudah memiliki feeling saat melihat Rida masuk ke kamar rawat Sherly. Hanya saja Kay tidak berpikir Putri akan sampai kesini.
Sudah dua hari ini Kay lah yang standby menjaga Sherly. Dia sengaja membiarkan kedua orang tua Sherly untuk istirahat di rumah agar tidak ikut drop.
"Gimana Sher? Kok bisa gini?" Rida duduk di ujung ranjang, sementara Kay masih menjadi sandaran bagi Sherly.
"Biasa.. Ceritanya mau jadi pembalap." Jawab Sherly dengan gayanya yang selalu ceria meskipun menahan sakit pada kakinya.
Rida sendiri masih diam-diam memperhatikan Putri. Tanpa Putri sadari, Rida selalu saja mengamati perubahan wajah Putri setiap kali berhadapan dengan Kay maupun Sherly.
Dia tau ada sesuatu yang terjadi diantara mereka, hanya saja dia masih tetap menunggu. Menunggu Putri untuk jujur padanya.
Sherly sendiri mulai khawatir dengan Kay. Dia tau jika Kay sudah seperti ini, dia akan melampiaskannya pada rokok. Sherly hanya tidak ingin Kay terus bergantung pada rokok. Kesehatannya adalah prioritas untuk Sherly. Dia tau betul Kay tidak sekuat yang seperti orang lain pikir, tidak sekuat yang terlihat.
Kay sudah mulai sedikit rileks dengan obrolan Sherly dan Rida. Dia sudah bisa tertawa. Hanya saja Putri yang masih tidak bisa dengan baik memainkan actingnya.
"Aku keluar dulu ya.. Cari udara segar." Kay berbisik pada Sherly.
"Enggak ahh.. Kamu disini aja." Rengek Sherly seperti anak kecil yang akan ditinggalkan orang tuanya.
"Bentar aja. Kan ada Rida." Sherly menggeleng sembari menatap tajam ke mata Kay.
"Serius. Bentar aja ya." Kay melepaskan pelukan tangan Sherly di lengannya.
"Jangan sampe.." Sherly melanjutkan kalimatnya dengan kode matanya.
"Dikit aja." Kay mengerlingkan matanya pada Sherly.
"Nitip Sherly ya Ri. Ada apa-apa telepon gue aja." Kay bangkit dan langsung meninggalkan mereka tanpa mendengar lagi omongan Sherly. Sementara Sherly langsung cemberut saat Kay melangkah keluar.
Tak berselang lama, Putri ikut menyusulnya keluar dengan alasan ada telepon penting. Putri menemukan sosok Kay duduk di taman rumah sakit sembari menghisap rokoknya.
Ada rasa kaget luar biasa saat melihat pemandangan di depannya.
'Inikah salah satu lagi bentuk nyata luka itu Kay?' Putri menanyakan pada dirinya sendiri.
Dengan segenap sisa kekuatan yang ia miliki, ia memberanikan diri untuk menghampirinya. Kay menengadah dengan wajah terkejutnya.
"Boleh ngomong sebentar?" Tanya Putri dengan suara sedikit gemetar.
Kay membuang sisa rokonya dan menginjaknya kemudian hendak melangkah pergi.
"Please Kay. Sebentar aja. Kita harus ngomong." Putri mencengkal tangan Kay. Dan sukses dihadiahi pelototan dari Kay.
"Please.." Ada butiran bening yang menggenang di pelupuk mata Putri, dan tertangkap jelas oleh kedua mata Kay.
Perasaan berkecamuk dihati Kay. Dia masih tidak bisa melihat Putri harus menangis dihadapannya.
Tanpa bicara apapun, Kay langsung duduk. Kelegaan pun langsung menghampiri hati Putri. Dia mengikuti gerak Kay.
"Apa kabar Kay?"
"Langsung aja apa yang mau kamu omongin."
Ada hembusan nafas kecewa dari Putri.
"Masalah yang dulu. Maaf Kay. Aku gatau kalo itu ternyata terlalu menyakitkan kamu. Aku gatau kalo rasanya emang bener-bener sakit." Butiran bening mulai menetes di wajah Putri. Sementara Kay hanya tersenyum kecut tanpa menengok ke wajah lawan bicaranya.
"Aku tau ini udah sangat terlambat, dan aku pun terlambat untuk menyadari semuanya. Aku terlalu mikirin diri aku sendiri sampai aku gak lagi mikirin kamu. Aku terlalu terbelenggu dengan omongan orang tanpa aku mikirin gimana sakitnya kamu. Tapi aku juga sakit Kay. Aku sakit harus kaya gini sama kamu."
Kay masih tetap terdiam.
"Aku terlalu marah waktu itu melihat perjuangan kamu. Kenapa saat itu kamu ga bisa dengan mudah meng-iya-kan permintaan aku? Seperti sebelum-sebelumnya. Kamu tau? Aku terlalu terbiasa dengan permintaan yang selalu kamu penuhi." Kepalan tangan Kay mulai terasa kuat. Ada gejolak hebat di dalam hatinya mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Putri.
"Kay.." Putri memberanikan diri memegang kepalan tangan Kay yang kencang. Dan secara berangsur-angsur kepalan tangan Kay mulai melemah, hingga akhirnya betul-betul terlepas.
Dalam hatinya, Kay merutuki dirinya sendiri. Karena Putri ternyata masih sangat berpengaruh pada dirinya itu.
"Tolong jangan hukum aku dengan sikap kamu yang kaya gini. Aku bener bener gak bisa seperti ini sama kamu. Tolong Kay." Putri menatap dalam mata Kay, sementara pandangan Kay masih terpaku pada sebidang rumput yang dia injak.
"Apa peduli kamu hah?" Kay menekankan pertanyaannya. Merasa tidak mendapat respon dari Putri, Kay menatap tajam pada Putri.
"Apa peduli kamu tentang aku? Apa pernah kamu mikirin gimana aku? Bukannya dari dulu kamu selalu mikirin diri kamu dan ambisi kamu?" Seperti mendapat tamparan keras, Putri semakin deras menangis.
"Aku.." Kay beranjak dari duduknya sebelum Putri menjawab, tapi dengan cepat Putri mencekal tangannya.
"Kamu harus dengerin alasan aku dulu Kay." Kay hanya menggeleng.
"Kesempatan kamu untuk beralasan udah kamu pake Put. Udah gada lagi." Putri menatap sedih pada Kay.
"Haruskah aku memohon untuk kesempatan itu?"
"Pernah kamu ngasih aku kesempatan untuk bisa ngomong lagi sama kamu sejak itu Put? Pernah kamu nganggep aku yang dulu selalu kamu bilang penting sejak hari itu? Hahh??" Amarah Kay sudah terlihat tidak dapat terkontrol lagi.
"Aku mohon Kay.." Putri berlutut di samping tubuh Kay, sementara Kay semakin terbakar amarah melihat aksi Putri ini.
**

KAMU SEDANG MEMBACA
imposibble (girl x girl)
AcakKarena hati hanya mampu memendam rasanya sendiri... menebak sesuatu yang hanya menjadi harap dan karena kepastian yang menjadi tidak pasti adalah permasalahan kedua hati "semoga kamu bahagia" ..... *kay*