Luka itu kembali terbuka

1.8K 88 8
                                    

Putri's Pov

"Yaampun Put. Kay tuh total banget ya kalo jadi temen gitu. Beruntung deh lo ama Sherly bisa spesial gitu buat Kay." Begitulah komentar Rida setelah mendengar salah satu bentuk pengorbanan Kay untukku. Membuatku miris mendengarnya.

"Iya Da. Gue emang beruntung. Tapi itu dulu." Kataku sedih.

"Sebenernya apa sih yang bikin lo sama Kay jadi sedingin sekarang? Kalian tuh cukup sukses buat berakting kalo kalian gak pernah kenal. Cuma ekspresi lo aja yang ga bisa diboongin."

"Kay berhasil bangkit dari semua masalah ini. Sementara gue? Masih aja terbelenggu sama rasa bersalah gue."

"Tapi menurut gue dia gak sesukses yang lo pikir." Aku tersenyum mendengar ucapan Rida. Dia tidak tau bagaimana saat kami berbicara tadi.

"Ya mungkin aja. Semoga lo bener."

"Gue emang bener kali." Sesaat aku hanya terdiam, sementara Rida masih menjelajah berbagai pose kami yang sempat diabadikan.

"Sedeket apa kalian dulu? Kaya sama Sherly?"

"Entahlah Da. Mungkin lebih dari itu, atau justru kurang dari itu." Aku memandangi salah satu pose favoritku. Kay tertawa lepas dalam selembar foto itu.

Ku dengar Rida hanya menghembuskan nafasnya, kemudian menyusulku kembali dan duduk dihadapanku. Dia memegangi tanganku dan menatapku dengan lekat.

"Gimana perasaan lo ke Kay?" aku mengerutkan kening mendengar pertanyaannya.

"Maksud lo?"

"Udah deh Put. Gue udah cukup kenal lo. Dan lo gak bisa nutupin apapun sama gue. Apapun yang lo rasain, gue cukup tau Put."

"Gue gatau Da." Air mataku pun langsung mengalir begitu saja menjawab pertanyaan Rida.

"Lo cinta sama dia?" aku pun tersenyum kecut sembari melihatnya.

"Lo pasti jijik ya ama gue?" Tanyaku di tengah isakan yang semakin kencang. Rida langsung menarikku ke dalam pelukannya.

"Lo ngomong apaan sih Put? Gue gak sampe berpikiran kaya gitu sama lo. Perasaan gak ada yang salah Put. Gue tau dan yakin banget lo punya perasaan lebih ke Kay. Gue bisa liat itu semua dari mata lo. Gue Cuma mau lo jujur sama gue. Lo bisa cerita apapun yang lo mau dan gak perlu takut." Aku semakin terisak mendengarnya.

"Gue takut Da. Gue takut sama semua ini." Rida melepaskan pelukan kami.

"Selesein semua ini Put. Bagaimanapun resikonya, lo harus nyelesein."

"Dia udah gamau dengerin gue lagi Da. Dia udah bener-bener gamau gue lagi." Rida menghapus air mata yang mulai membanjiri wajahku.

"Lo minta tolong aja sama Sherly Put. Kay kan nurut sama Sherly, dan pasti dengerin omongan Sherly."

Tiba-tiba saja otakku langsung meng-iya-kan perkataan Rida. Dia benar. Satu-satunya kesempatanku untuk bisa berbicara leluasa dengan kay adalah melalui Sherly. Tapi apakah sherly mau membantuku? Apakah dia tau semua persoalan ini? Dan bagaimana reaksi Sherly jika aku harus meminta tolong padanya?

Ahh!!

**

Kay's pov

Aku memutuskan kembali ke Jakarta selama 2 hari untuk mengurus pekerjaan yang memang menumpuk, dan kesiapan keberangkatanku. sebenarnya aku tidak bisa begitu saja dengan tenang meninggalkan Sherly. pikiran dan hatikku masih tertinggal disana. mengkhawatirkan kondisi Sherly yang belum membaik. tapi tanggung jawab harus tetap ku selesaikan.

Setelah berbicara dengannya di rumah sakit itu, memang membuat emosiku kembali tidak stabil. Luka dan teriakannya itu mendadak teringat lagi, terngiang di kepalaku. Luka itu, luka yang sudah hampir mengering, kini ia robek lagi.

#Flashback

Dengan bahagia setelah berhasil memenangkan lomba basket di Jakarta, aku segera mengeluarkan HP dan menelpon Putri untuk mengabarinya. Hari ini adalah pertandingan basket antar sekolah termasuk Jakarta juga. Sekolah kami memenangkan perlombaan di Bogor, dan kemudian pemenang dari Bogor, Bandung dan Jakarta di pertemukan kembali di jakarta. Putri tidak bisa datang karena ada acara keluarga.

Aku sendiri tidak memaksanya, sepertinya dia masih marah karena sebelumnya aku justru berkumpul bersama teman-temanku, dan bukan bersamanya. Awalnya aku memang berpikir dia akan menontonku disini, tapi ternyata dia bilang bahwa dia tidak bisa ikut lantaran ada acara keluarga. Sambungan telepon terasa lama untukku.

"Hallo.." Putri mengangkat teleponnya.

"Put.. aku menang. Sekolah kita menang." Kataku girang mengabarkannya.

"Oya? Selamat ya.." responnya datar, tidak seperti yang ada dalam pikiranku.

"Iya, makasih." Kataku ikut datar. Aku menunggunya bersuara, tapi tak juga ku dengar, dan sepertinya dia memang tidak ingin berbicara lagi.

"Kamu masih marah sama aku?" Tanyaku mengingat pertemuan kami sebelum aku berangkat ke Jakarta tidak sebaik biasanya.

"Enggak." Jawabnya datar. Membuatku harus menghela nafas.

Seminggu sudah aku di Jakarta untuk bertanding dan berjuang hingga final. Dan kini yang menjadi penyemangatku justru meruntuhkan semua kebahagiaanku saat ini.

"Gelang yang kamu kasih selalu aku pake lho.. Dan Cuma dengan liat gelang ini, aku ngerasa kamu ada disini, ngedukung aku." Kataku jujur.

"Itu Cuma gelang." Jawabannya kali ini sukses membuatku benar-benar shock. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Kamu kenapa sih? Kok kamu dingin banget sama aku?" seketika tubuhku terasa lemas.

"Udah deh Kay. Aku cape. Kita udahan aja ya.. Persahabatan kita cukup sampe disini aja." Dia mengucapkannya seolah tanpa beban ataupun rasa yang berat. Sebaliknya, dia mngucapkan itu seperti dia mengucapkan hal sepele.

"Apa?? Put, kamu sadar gak sih sama yang kamu omongin??" nada suaraku langsung meninggi. Untung saja aku memang sengaja mencari tempat yang cukup sepi tadi saat akan menelponnya.

"Aku sadar kok dan aku serius banget. Kamu ga usah hubungin aku lagi, kita biasa aja. Lebih bagus lagi anggap aja kita ga kenal." Katanya enteng.

"Masalah kemarin? Put, kamu itu bilang sama aku mau ada acara keluarga kan? Terus apa salah kalo aku nerima ajakan anak-anak buat ngumpul? Aku kan udah jelasin sama kamu kenapanya. Kok malah jadi kaya gini sih?"

"Enggak kok. Engga ada hubungan sama apapun. Udah ya Kay, plis jangan ganggu aku lagi. Udahan aja semuanya. Kita udah gak sama lagi Kay."

"Put, aku.."

Tut..tut..tut.. Dia memutuskan begitu saja telepon kami. Membuatku langsung saja memukul tembok di sebelahku. Luka di tanganku ini tidak begitu sakit ku rasakan. Nyerinya justru di dalam hati.

Aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikirannya sampai dia bisa begitu saja memutuskan semuanya. Bahkan dengan entengnya dia bilang untuk menganggap kami tidak pernah saling kenal.

Apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya? Terlebih lagi dengan posisiku yang saat ini berada di jakarta dan tidak bisa menemuinya. Dia sepertinya memang sudah merencanakan semua ini. Karena jika aku di rumah, sudah ku pastikan akan langsung menemuinya langsung di rumah. Tak berselang lama sebuah pesan singkat masuk, dari Putri.

'Maaf Kay, aku udah putus sama Rendy. Aku tau Rendy juga sahabat kamu dan sekarang aku ga bisa lagi ngelanjutin persahabatan kita. Aku pikir ini yang terbaik buat kita. Kamu ga perlu dateng ke rumah atau nemuin aku lagi. Apalagi untuk nanyain masalah ini. Tolong buat semua ini jauh lebih mudah untuk kita ya.. makasih Kay buat semuanya. Makasih banget dan maaf aku harus kaya gini.'

Aku terduduk lemas setelah membaca pesannya. Jadi semua benar-benar nyata, dan bahkan dia benar-benar sadar mengatakannya.

***


imposibble (girl x girl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang