Hari ini adalah ulang tahunku. Beberapa sahabat datang ke rumah mengucapkan dan memberikan sedikit kejutan untukku. Tapi semua terasa hambar, tak ada sedikitpun perasaan bahagia. Justru ingatan hari ulang tahun ini semakin menyakitiku.
Sadar bahwa Putri benar-benar tidak ada lagi untukku. Dia tidak ada lagi saat aku meniup lilin, atau bahkan sekedar ucapan yang ku nantikan pun tak juga dia berikan.
"Kay, lo masih diem aja deh. Bangkit dong. Jangan gini terus." Ida menyenggolku yang hanya duduk diam memandangi kue tart dengan lilin yang menghiasinya.
"Emang gue harus gimana?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku.
"Heh. Ini tuh ulang tahun lo. Saatnya harapan baru dan hidup baru Kay. Lo ga akan sia-siain umur lo cuma buat meratapi dia kan? Bahkan dia gak pantes banget lo tangisin gini." Tari dan selalu dengan ucapan pedasnya.
"Harapan ya? Gue boleh berharap kah?" Air sudah mulai memenuhi pelupuk mataku.
"Harapan tanpa orang itu Kay." Tari menjawabnya.
"Lo liat kita dong, kita disini pengen bikin lo bangkit lagi. Kita pengen lo bisa kaya dulu lagi. Dan apa kita ga cukup buat ngegantiin 1 orang yang ga penting itu?" Lanjutnya lagi. Aku menatap ke arah Tari dengan senyum tipis.
"Kalian selalu punya tempat sendiri. Dan dia, pun begitu."
"Udah udah. Jangan dilanjutin. Make a wish dulu ya Ka. Nanti abis loh lilinnya." Dita menghentikan sedikit perdebatanku dengan Tari. Selalu saja begini.
Aku mulai memjamkan mata, dan berharap pada Tuhan. Ya, hanya 1 keinginanku. Aku ingin Putri. Aku ingin dia kembali Tuhan. Aku ingin bisa bersamanya lagi, aku terlalu menyayanginya. Apapun akan rela ku lakukan untuk bisa kembali bersamanya. Aku mohon Tuhan. Kembalikan dia padaku. Jangan biarkan dia pergi lagi. Aku hanya ingin dia.
Akhirnya aku meniup lilin tanpa Putri. Tanpa senyum bahagia atau suara tawanya lagi. Dia benar-benar pergi.. Dan semua kembali terasa gelap untukku.
6 bulan kemudian..
Aku sudah memasuki kelas baru, dan cukup bersyukur karena tidak ada 1 pun dari geng di kelas 7 yang sekelas denganku. Setidaknya, aku memiliki suasana baru. Meskipun setiap jam istirahat, kami masih sering duduk berkumpul bersama. Tapi aku lebih tenang mereka tidak mengetahui kondisiku saat di dalam kelas.
Aku masih tetap menghabiskan hari-hariku dengan lebih banyak diam. Tidak ada aktivitas yang berarti. Bahkan lebih parahnya lagi, mendadak aku tidak bisa lagi bermain basket dengan baik, dan itu sukses membuatku dikeluarkan dari team. Semua menjadi kacau hanya karena dia.
Dan sejauh ini pula aku tetap memperjuangkan dia, mempertahankan sebisa dan semampuku, bahkan hingga mengemis padanya. Membuatku benar-benar kehilangan harga diri.
Dengan berbagai kesempatan, aku berusaha untuk berbicara dari hati ke hati padanya, berusaha untuk meluluhkan hatinya, bahkan aku memintanya untuk membuka rasa belas kasihannya untukku. Aku yang seolah mati tanpanya.
Dan apa jawaban dia? Dia selalu saja memakiku, mengusirku, menghempasku, dan membuangku tanpa memiliki hati sama sekali. Tapi semua itu tidak pernah sedikitpun menggoyahkan keinginanku. Keinginanku untuk bisa bersamanya lagi, keinginanku untuk tetap bisa menjadi bagian dalam hidupnya lagi. Aku sudah tidak lagi memikirkan harga diri, ataupun tubuhku yang juga menjadi imbasnya.
Setiap malam air mata ini selalu saja menetes memandangi dirinya dalam selembar foto. Kedua orang tuaku pun ikut terkena imbasnya. Hampir setiap hari secara bergantian mereka memaksaku berbicara apa masalah yang tengah ku hadapi hingga mampu menjadikan aku seperti ini.
Dan lebih parahnya lagi, suatu malam papah datang ke kamarku. Aku yang saat itu hanya bisa duduk diam di dalam kamar, meratapi sakitnya hati ini. Papah datang dan bertanya padaku, meskipun mungkin papah sendiri tau, aku tidak akan pernah menjawabnya. Dan tiba-tiba saja sebuah isakan lolos dari suara papah.
Aku telah membuat seorang ayah tertunduk dihadapan anaknya sembari menangisi nasib anaknya. Aku sendiri hanya bisa ikut menangis tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sakit di hati ini pun semakin bertambah.
Kedua orang tuaku sampai harus mengirimkan beberapa psikolog untuk membantuku, tapi itu tak juga membantu. Hatiku tetap membeku, tubuhku tetap sakit, jiwaku tetap seolah mati.
Berbagai cacian dari beberapa sahabatku atas sikapku ini memang menjadi tamparan untukku. Mereka tidak terima dia membuatku menjadi seperti ini, tapi itu semua tetap tidak merubah pikiran dan hatiku, yang masih selalu saja mengharapnya kembali lagi padaku. Aku hanya ingin dia. Berlebihan kah keinginanku?
**

KAMU SEDANG MEMBACA
imposibble (girl x girl)
RandomKarena hati hanya mampu memendam rasanya sendiri... menebak sesuatu yang hanya menjadi harap dan karena kepastian yang menjadi tidak pasti adalah permasalahan kedua hati "semoga kamu bahagia" ..... *kay*