nineteen ; the prey.

13.1K 1.3K 139
                                    

Renjun tak benar-benar ingat kapan ia bersekolah disekolah umum layaknya anak-anak pada umumnya.

Ia memiliki fisik yang terbilang cukup lemah dari anak-anak seumurannya, disaat mereka bermain bola dan berjemur dibawah sinar mentari yang terik Renjun cuma bisa duduk diam memandang mereka.

Ia iri. Iri sekali.

Terakhir kali ia memaksakan dirinya untuk bermain dengan meyakinkan ibunya, yang ia temui hanyalah kamar putih serta dokter dengan obat penguat imun tubuh setelah gelap melahap pengelihatannya. Setelah itu, ia tidak diijinkan untuk sekolah. Ia tak tahu rasanya belajar dikelas, ia juga tidak tahu rasanya berbagi bekal saat istirahat tiba.

Seperti burung dalam sangkar, ia hanya bisa melihat dari jendela bagaimana anak-anak yang tinggal di perumahan yang ada didekat rumahnya bercanda sepulang sekolah. Menyakitkan dan menyedihkan. Tetapi mau bagaimana lagi, sedari dulu tubuhnya memang susah diajak berkompromi—memiliki imun yang lemah serta gangguan pernafasan yang kerap kambuh membuatnya harus dalam pengawasan yang ketat.

Setelah melakukan beberapa pengobatan yang cukup memakan banyak waktu—ditambah karena kecelakaan yang pernah ia alami, akhirnya saat umurnya menginjak lima belas ia diijinkan untuk sekolah.

Euforia meletup-letup di dadanya kala itu, ibunya hanya tersenyum senang sementara ayahnya mengusak kepalanya dengan penuh afeksi. Ia akan bersekolah! Ia sangat semangat kala ibunya mempersiapkan perlengkapan sekolahnya, rasanya seperti seorang balita yang akan pertama kali masuk sekolah—rasa dejavu cukup menyerangnya waktu itu.

Tapi tahun kedua ia sekolah, tepatnya pada saat umurnya tujuh belas, tepat setelah ia menjuarai lomba taekwondo disekolahnya, ayahnya datang dengan keadaan carut-marut ke kamarnya. Renjun tak mengerti apa yang terjadi sebelum ia pulang dari angkutan umum, dan Renjun juga tak mengerti kenapa ayahnya semarah itu.

Ia dipaksa untuk bersekolah dirumah lagi; homeschooling. Ia cuma bertanya apa alasannya namun ayahnya menamparnya kuat sekali; tamparan pertama yang ayahnya lakukan padanya. Ia tidak begitu ingat rasa sakitnya karena pipinya serasa mati rasa. Kepalanya pusing, perasaannya dilingkupi rasa takut serta terkhianati. Ayahnya yang baik hati, ayahnya yang selalu memberikan segala afeksi padanya... menamparnya sekuat ini? Setelah itu teriakan marah ibunya menggema sembari wanita itu memasuki kamarnya, dan teriakan serta bentakan kasar memenuhi kamar itu. Mungkin itu hari terbaik... namun juga terburuk baginya.

Setelah ia berhenti melanjutkan sekolah umum, kedua orangtuanya menjadi sangat protektif. Ya, ia memang tidak pernah bilang orangtuanya mengendurkan pengawasan mereka tapi ini jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Ia dibatasi untuk keluar, bahkan menampakkan diri saat tamu datang pun amat sangat dilarang. Ia benar-benar terkurung. Seperti bunga yang terselimut kaca rapuh, benar-benar menyedihkan dan sulit untuk diraih.

Ia tak tahu, dan rasanya sulit sekali mencari tahu.

Semuanya bagai buku tebal yang disegel; begitu tertutup dan menyimpan banyak rahasia. Tak ada yang baik hati memberitahunya apa yang terjadi karena tingkah laku kedua orangtuanya benar-benar aneh.

Hingga kala itu, Renjun nekat menerobos masuk ruang kerja orangtuanya. Lelaki itu berbekal dengan tekadnya yang membara serta kunci milik ayahnya yang jatuh masuk kedalam—meneliti setiap dokumen yang entah apa isinya. Hingga—

"Surat perjanjian..... untuk Keluarga Huang dan Huang Renjun sebagai validasi?"

-----

"Dimana Arseno dan Carl? Aku tak melihat mereka hari ini,"

"Uhm... Tuan Renjun... mereka ada di kamar....," Maid yang ada didepan lelaki itu menggigit bibirnya ragu. Pikirannya sibuk menyusun kata apa yang cocok ia keluarkan pada lelaki manis dihadapannya ini, sementara Renjun hanya memandangnya dengan tatapan bingung yang nampak begitu lugu. "Mereka tidak ada dikamar." Jawab Renjun.

interfectorem | norenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang