eighteen ; golden cage.

12.4K 1.4K 84
                                    

"Kau yakin dengan semua ini?"

Kedua pasangan suami istri itu terdiam. Sang istri meremat tangan suaminya erat - erat, meminta persetujuan sang kepala keluarga untuk buka mulut. Atmosfer mencekam, rasanya seperti mencekik tiap kalimat yang bersarang pada pangkal lidahnya. 

"Kami.... yakin." Orang yang didepannya menatap mereka berdua ragu. Mereka nampak begitu skeptis soal perkataan mereka sendiri, lelaki didepan pasangan itu mengeluarkan lintingan tembakaunya—menyalakan api dengan pemantik lalu merokok dengan santai didalam ruangan tertutup itu. "Oh, ya? Kalian nampak tak bisa memegang kalimat kalian sendiri."

"Kami yakin Tuan Na! Yakin sekali!" Kata sang istri sembari bangkit dari duduknya, "Kami siap untuk bekerja dibawahmu, kami siap untuk hubungan timbal balik ini!"

"Sayang..." Ujar sang suami menenangkan istrinya yang nampak dipenuhi kekalutan, air mata ia tahan di pelupuknya. Hanya ini... hanya ini yang bisa mereka lakukan. Demi anaknya, demi hidupnya, demi segala hal yang akan terjadi di masa depan.

"Soal harta saja sebenarnya tak cukup, sih." Sang Tuan Na menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, menatap remeh kedua pasangan itu—konyol sebenarnya. Keluarga Huang—keluarga yang orang puja - puja dengan kekayaan dan kemakmurannya itu mengemis dibawah kuasanya? Memang kekuasaan begitu menyenangkan, membolak - balikkan hidup manusia terasa sangat mudah digenggaman tangannya.

"Lantas, apa yang anda inginkan Tuan Na?" Jawab sang kepala keluarga, ia menelan ludahnya gugup—tentu saja, tentu saja! Sogokan harta yang ia punya tidak akan cukup, orang yang ia tawari untuk hubungan timbal balik ini adalah seorang mafia. Seorang mafia tentunya takkan puas hanya dengan harta, mereka selalu ingin hal yang lebih.

"Anakmu."

Hening. Sepasang suami istri itu bersitatap—lalu menatap sang mafia dengan rokok yang masih tersemat di belah bibirnya, menatap mereka berdua dengan pandangan menantang. "Anak kami...?" Ulang sang istri dengan pandangan tak percaya. "Kami... kami bisa berikan segalanya Tuan! Tapi tolong, tolong jangan anak kami. Anak kami adalah satu—,"

"Apa aku nampak memiliki belas kasih disini?" Sang mafia mendecak kesal, terlalu bertele - tele. Ia tak peduli, ia cuma ingin sebuah perjanjian yang meyakinkan selain segepok uang. Kekayaan dan senjata sudah terlalu biasa, ia ingin sesuatu yang baru. "Tuan...." Lirih sang istri sembari berlinang air mata, "Aku bisa menjanjikan diriku sendiri, tolong jangan anak kami satu - satunya...."

"AKU TAK PEDULI!" Teriak lelaki itu sembari menggebrak meja yang ada dihadapannya, "Terserah bagi kalian, Huang. Tapi jikalau kalian tak menandatangani kontrak itu, lupakan saja. Aku sudah cukup berbaik hati menghadapi kalian yang sangat ingin kupecahkan kepalanya dari dulu." Ujar sang Tuan dingin, Tuan Huang menahan nafasnya gugup. Ia mengambil pena yang ada di meja itu lalu segera menandatangani kontrak yang ada didepannya dengan terburu. "Kau gila?!" Jerit sang istri kala suaminya itu segera berdiri dan menyerahkan surat kontrak itu, "Kami menerimanya, Tuan Na."

"Bagus, akhirnya aku tak perlu meluapkan niatku menembak kepala kalian sekarang juga." Ujarnya sembari memamerkan holster yang ada di pinggangnya, "Senang bekerja sama denganmu, Tuan Huang."

-----

Tangisan sang Nyonya Huang tak terelakkan setelah perjanjian itu dibuat. Ia tak bisa melakukan hal keji seperti ini, meminta tolong seorang mafia demi keselamatan hidup mereka saja rasanya begitu salah—apalagi dengan menumbalkan anak semata wayangnya yang seharusnya ia lindungi?

"Sayang... itu hanya perjanjian belaka, bukan? Kita juga tak mungkin berkhianat pada mereka," Ujar sang suami, mengelus pundak bergetar wanita itu dengan pelan. Ia tak tahu—ia benar - benar tak tahu! Pikirannya kalang kabut, ia hanya memiliki satu pikiran—keluarganya harus selamat. Apapun caranya, dengan memberikan anaknya sebagai jaminan pun tak masalah.

interfectorem | norenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang