seventeen ; colors without answer.

13.8K 1.6K 128
                                    

Dunia tak seindah itu.

Dunia takkan pernah seindah itu. Renjun tertawa mengejek kala melihat tayangan kartun seorang anak lelaki yang sedang sibuk bermain dengan teman - temannya di bukit yang luas. Kurva senyum terulas apik pada tokoh - tokoh desain grafis itu, nampak bahagia—amat sangat bahagia. Indah sekali, dunia penuh angan yang tercipta dalam pikiran seorang anak - anak begitu menyenangkan. Sayang sekali, mereka takkan tahu seberapa mengerikan dan kejamnya semua ini.

Renjun menatap notasi jam yang menunjuk tepat pada pukul dua belas siang. Hanya untuk formalitas, sebenarnya—ia tak peduli seutuhnya. Tangan itu bergegas memindah channel televisi ke saluran yang lain, mencari suatu tayangan yang membuatnya terhibur.

Eh? Jari itu berhenti kala saluran berganti dengan berita, apakah kedua orang itu tak membatasi saluran
berita di televisi ini? Karena seingatnya televisi yang ada di ruang tengah lantai satu sengaja dibatasi saluran beritanya, agar Pemuda Huang itu tak melihat atau penasaran soalnya. Orangtuanya itu termasuk orang tersohor, tak mungkin berita tentang Keluarga Huang tak diliput oleh stasiun televisi manapun.

“Keturunan terakhir Keluarga Huang menghilang sejak berbulan - bulan yang lalu. Rumornya—,”

Pats!

Layar televisi itu mendadak gelap. Ia menengok ke arah pintu dan menemukan Jeno Lee disana dengan remote cadangan di genggamannya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi marah yang biasa ia tampilkan kala terganggu. Dan sialnya, itulah masalahnya! Atmosfer kamar yang semula tenang menjadi serasa mencekik leher.

"Aku pikir selama ini kamu puas dengan kartun, Angel?" Tanya Jeno sembari duduk disebelahnya. Renjun hanya diam, rasa takut yang biasa menjalari hatinya mendadak hilang—hanya ada rasa marah dan kesal yang bergerumul disana. Keturunan terakhir. Mendengar dari headline berita itu langsung membuatnya teringat sesuatu. Sesuatu yang membuatnya skeptis akan pemikirannya sendiri.

"Kau membutuhkanku untuk itu, kan?" Ucap Renjun yang membuat Jeno bungkam. Lelaki itu hanya menatap si Huang yang nampak begitu tenang, tak bergetar sekalipun seperti yang biasanya. Jeno menunggu, menunggu seberapa jauh lelaki itu berani mencari.

"Dunia dan isinya cuma angan - angan palsu." Renjun terkekeh, menatap si Lee dengan pandangan mencemooh—tubuhnya yang semula bersandar pada headboard. "Kekayaan.... uang dan segalanya, kehancuran...." Pemuda itu mengatakannya dengan wajah datar bak tanpa jiwa. Jeno terkejut mendengar penuturan itu sejujurnya, tetapi ia berusaha untuk memasang topeng miliknya kuat - kuat.

"Kupikir dirimu cumalah pemuda naif yang terjebak dalam angka sembilan belas, Angel. Wajahmu itu benar - benar membuat semua orang lupa seberapa jauh mereka menyelam." Kata - kata lelaki itu membuat Renjun diam—apa maksudnya itu? Menyelam?

"Kupikir aku tak perlu membatasi saluran berita di televisi ini, tapi sepertinya aku harus melakukannya." Jeno bangkit dari duduknya, mengacak surai si Huang yang menatapnya dengan tatapan bingung.

"Dunia dan isinya memang rajutan angan kosong. Untuk itu, tanpa berharap dengan realita omong kosong itu kita perlu membuat impian sendiri, bukan?"

Renjun tertawa, itu sama seperti sugesti orangtua pada anaknya dengan dongeng fantasi untuk menutupi kejamnya realita. Renjun muak, semasa hidupnya orangtuanya selalu memanjakannya tetapi tak pernah membolehkannya benar - benar mengetahui dunia luar. Seperti terkurung dalam sangkar berlapis emas yang mewah—tetapi sangkar emas tetaplah cuma jeruji besi yang mengikat, bukan?

Pintu kamarnya ditutup oleh si Lee dan tekadnya semakin bulat, Renjun setidaknya harus melihat rumahnya sekali untuk memastikan apa kedua mafia gila itu menahannya karena apa.

interfectorem | norenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang