fourteen ; can you let us, angel?

17.2K 2K 218
                                    

"Renjun!"

"Huang Renjun, bangunlah!"

"Sayang bangunlah!"

Lelaki itu terbangun. Ia membuka matanya secepat kilat setelah mendengar segala teriakan itu dan yang ia temui adalah ibunya yang sedang berkacak pinggang, tunggu dulu—dirinya menggosok matanya lagi sebelum mengedipkannya berulang. Itu memang ibunya, ia rasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya saat melihat perempuan itu—tapi ia tak bisa mengingatnya.

"Cepat mandi lalu kita makan, ayah akan segera berangkat!" Ibunya pun keluar kamar—Renjun menghela nafasnya kasar. Ia pun bangkit dan memandang pantulannya di cermin—ia merasa ada yang salah dengan dirinya tapi ia tak mengerti hal itu apa. Seperti... tidak seharusnya dirinya ada di kejadian ini namun ia tak tahu kejadian apa yang harus ia alami—belum sempat dirinya masuk ke kamar mandi ia dikejutkan dengan cahaya yang menyilaukan.

"Ibu?!" Ia memekik, itu benar ibunya—dengan cahaya terang yang menyilaukan mata serta wajahnya yang begitu pucar. Tetapi, bukannya tadi ibunya baru saja keluar dari kamarnya? Bagaimana bisa—

"Sayang, tempatmu bukan disini." Lirih sang ibu sembari mengelus surainya—hangat, hangat sekali. Rasanya sudah lama sekali ia tak merasakannya. Kasih sayang yang ibunya beri terasa begitu lama sekali ia tak rasakan—tapi anehnya Renjun tak mengingat apapun yang terjadi sebelumnya. Wanita itu menatapnya dengan teduh, tetapi juga ada cahaya sedih dalam obisidan gulitanya. Tatapannya nanar dan sedih dalam satu waktu.

"Tuhan akan marah jikalau kau masih disini, sayang." Kata ibunya lagi sembari memeluknya, Pemuda Huang itu hanya terdiam. Pemuda itu tak bisa mencerna apa yang terjadi disini sebenarnya. Memangnya—kenapa Tuhan harus marah jikalau ia ada disini?

"Memangnya aku kenapa, Ibu?" Akhirnya anak semata wayangnya itu bertanya, karena jujur ia tak bisa mengingat segalanya. Ibunya hanya tersenyum, ia tak menjawabnya. Antara memang tak ingin atau tak tahu Renjun juga tak mengerti—semua terasa begitu janggal dan menyiksa kerja otaknya. Ia berusaha berpikir tetapi buntu; ia tak mengingat apapun selain terbangun dan menemukan dua sosok dari eksistensi ibunya.

"Ceritanya panjang, Renjun. Ibu tahu takdir memang tak sebaik itu, tetapi bertahanlah sebentar lagi, ya? Yang hitam akan perlahan menjadi putih—jadi kembalilah, sayang." Jawab sang ibu, ia menatap anak semata wayangnya dengan penuh kasih. Rasanya dirinya ingin menangis—karena kesalahannya remaja lugu seperti Renjun harus menerima segala akibatnya. Sayang, maafkan ibu, ya? Maaf ibu belum bisa menjadi sosok yang baik bagi dirimu.

"Ibu, aku tak—ARGH!" Renjun menjerit kala dadanya bak dihantam sesuatu yang tak kasat mata, ini terasa familiar. Rasanya seperti ia merasakan bagaimana ada suatu benda tajam menghantam dadanya—ia pernah merasakannya. Tapi, dimana?

"Huang Renjun, bertahanlah sebentar lagi, ya?"

Lalu Renjun rasa dirinya seperti dihisap oleh sesuatu—pandangannya mendadak mengabur dan semua terasa mati rasa.

Kemudian yang pemuda manis itu rasa hanyalah gulita yang menghampiri ambang kesadarannya.

------

"Bagaimana keadaan Renjun?"

Hening sempat mencekam sesaat diantara ketiga lelaki itu. Jungwoo menahan nafasnya sebentar sebelum memasukkan stetoskop yang ia pakai sebelumnya pada jas dokternya.

"Ia sudah melewati masa kritisnya setelah operasi. Tetapi berita buruknya, aku tak yakin ia akan sadar dalam waktu dekat." Ujarnya sebelum Jeno mencengkram kerahnya, "Apa maksudmu?!" Ucapnya dengan desis kemarahan—Jaemin menarik kembali lelaki itu sebelum Jungwoo tertawa miris. "Wow, kau benar - benar mencemaskan bocah itu."

interfectorem | norenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang