twenty one ; reminiscent.

11.9K 1.2K 97
                                    

"Untuk apa memikirkannya? Toh, itu sudah dirawat oleh anak-anak sialanmu!"

"Jaga ucapanmu!"

"Uhm... Agatha, bisakah kamu pergi keluar sembari mengajak Renjun? Ada pembicaraan khusus orangtua disini."

Perempuan itu mengangguk, menarik seorang bocah lelaki yang nampak bingung. "Ayo, kita main diluar!" Ajaknya sembari berlari, yang digandeng hanya mengikut saja-tetapi pandangannya terpusat pada ibunya.

"Kak Agatha, kenapa nenek dan kakek marah?" Tanya bocah itu sembari menyusun lego miliknya. "Hm... jujur saja aku juga tidak tahu. Itu urusan orangtua, jangan didengarkan!"

Renjun terdiam, kembali menyusun lego miliknya. Lalu suara teriakan memekakkan kembali mampir ditelinganya, begitu keras dan dipenuhi amarah.

"BAIKLAH! Mulai sekarang, urusi segalanya sendiri saja! Anak tak tahu diuntung! Begitu sombong dan kikir!" Teriakan wanita tua itu kemudian disertai dengan langkah kaki patah-patah miliknya serta bunyi ketukan tongkat. Ia keluar dengan tatapan berapi-api sembari menarik Agatha pergi, "Kita pulang!"

"Tapi, Nek...," Suara Agatha tercekat kala ibunya keluar dengan bekas tamparan di pipi. Anak itu panik bukan main. "Ibu...? Apa yang terjadi? Apa yang-," Agatha merasa ditarik dari duduknya lebih keras lagi, Renjun bingung setengah mati melihat keadaan yang ada didepannya.

Keadaan yang tidak pantas untuk dilihat untuk anak yang belum genap berusia sepuluh.

"Renjun sayang, kita juga sebaiknya pulang. Ayo, pamitlah dulu pada kakekmu!"

"Tapi, bu...," Tangan ibunya dengan paksa menariknya. Ia menoleh kebelakang dimana Agatha masih sibuk diseret oleh ibunya, apa... apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya didalam?

"Jangan terlalu sering bermain dengannya."

"AH-!" Renjun terbangun dengan peluh membanjiri dahinya serta nafas yang tersengal-sengal dengan rancu. Atensinya ia berikan pada jam dinding-pukul empat pagi, masih terlalu dini. Ia mengacak rambutnya sendiri, lima hari semenjak kejadian pahanya menjepit penis Jaemin itu ia selalu bermimpi buruk, bermimpi apa saja yang terjadi di masa lalunya. Seperti dikutuk dan kutukan itu terus menghantuinya seperti ia melakukan dosa besar di masa lalu.

Dosa besar yang ada di masa lalu?

Bodoh. Benar-benar bodoh.

"Kenapa... kenapa aku baru menyadarinya sekarang...?" Renjun tertawa masam dengan lirih. Tangannya yang gemetar meraih segelas air putih yang ada di nakas, meminumnya perlahan dengan pikiran carut-marut. Bibirnya bergetar dengan nafas tersengal rancu, kepalanya terasa pusing seperti dihantam oleh truk.

Dosa besar orangtuanya membawanya kemari; dosa besar itu diciptakan karena masalah keluarganya sendiri.

Kalau begitu... untuk apa ia repot-repot mencari segala bukti? Untuk apa ia berusaha kabur dan mencari dokumen yang ada di rumah? Mengapa ia repot-repot membayar segala hal yang begitu susah ia terima?

Untuk apa-ia melawan Jeno dan Jaemin dengan begitu bebal sedari dulu?

Karena musuh terbesarnya, orang yang membuatnya menderita, orang-orang dibalik semua ini adalah....

Keluarganya sendiri.

Ia sudah diseret terlalu jauh. Ia sudah menerima segalanya dengan begitu menyakitkan. Tapi kenapa... kenapa kedua iblis yang menahannya tidak segera mengakhiri segala penderitaannya? Bukankah ia tak memiliki guna lagi setelah kematian orangtuanya?

interfectorem | norenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang