twenty four ; we fallen together?

8.5K 905 93
                                    

Renjun tidak pernah merasakan dicintai secara harfiah; dirindukan seseorang dengan perasaan penuh kasih sayang, mendapatkan seseorang yang ingin memilikinya seutuhnya.

Ia tidak pernah.

Tapi untuk saat ini, ia merasakannya.

Rasanya ia bingung setengah mati, dua puluh tahun ia hidup dan merasakan hubungan timbal balik dari manusia—ia tidak tahu bagaimana rasanya menghadapi perasaan ini.

Kedua lelaki itu mengasihinya, dengan jelas. Renjun tidak tahu jelas apa perasaan mencintai itu memang seperti ini, ataukah memang wajar melakukan hal ini dari satu manusia ke manusia lainnya—sebab, ini sedikit aneh dan melebihi bagaimana seorang tawanan dan penguasa bersikap.

Apakah mereka bahkan masih bisa dikatakan sebagai penguasa dan tawanan?

Renjun tidak tahu dan tidak pernah ingin tahu soal jawabannya. Sebab ia tahu benar, seberapapun ia ingin mengelak—semua ini terlalu jelas untuk dijabarkan. Ia mungkin tidak banyak bersosialisasi dan mengerti dengan jelas hubungan manusia dengan manusia lainnya, tetapi soal ini, ia mengerti.

Kata sandi handphone; ciuman; saling menyelamatkan dan melindungi; permintaan maaf; rasa ingin memiliki. Bukankah—itu sudah sangat jelas?

Renjun menahan nafasnya kala Jeno dibawa masuk ke ruang operasi, sementara Jaemin di sebelahnya nampak kacau. Pandangan mereka berdua bertemu, dan Jaemin menggeretnya untuk duduk.

"Bagaimana keadaanmu?" Ia bertanya, lelaki itu nampak lembut. Tidak ada sorot mata kasar yang biasa ia berikan dulu. "Tidak buruk." Renjun berkata demikian dengan rambut semrawut, wajahnya yang sedikit tertutup debu, dan juga baju yang berbau asap. Konyol sebenarnya—tapi Renjun seratus persen yakin ia tidak apa-apa. Sepertinya, asmanya tidak akan kambuh kali ini, kedua orang itu memberikannya obat-obatan untuk menguatkan tubuhnya. Mereka melakukan hal-hal yang tidak pernah orangtuanya lakukan untuknya.

Jaemin mengusap wajahnya, ia melemaskan bahunya yang tegang sedari tadi. Lorong rumah sakit ini sudah ia minta untuk kosongkan sebelumnya, hanya ada mereka berdua dan beberapa perawat yang berlalu-lalang. "Kau tahu? Saat kau tertembak dulu, keadaannya juga seperti ini."

"Sunyi dan mencekam?" Tanya Renjun sembari menatapnya. Jujur saja, ia tidak tahu harus menjabarkan kondisi ini seperti apa. Banyak hal yang terjadi dalam satu waktu, sementara paradigmanya kesulitan untuk memproses. Tetapi Jaemin terkekeh mendengarnya, ia mengusap rambut acak-acakan pemuda yang duduk di sampingnya. "Tidak. Menakutkan dan membuatku cemas."

Si Huang terkejut dengan jawaban yang keluar dari mulut Jaemin, ia merapikan rambutnya sendiri yang diacak-acak sembari menatapnya ragu. "Kamu bisa takut dan cemas?" Tanyanya dengan sedikit mengejek, lelaki itu kembali tertawa. "Tentu saja, aku memiliki banyak kecemasan dan rasa takut sejak dulu. Namun, perasaan tidak ingin kalah selalu menindas mereka. Sejak mengenalmu, mungkin perasaan itu muncul lebih kuat lagi." Penjelasan lebar itu membuat Renjun semakin kalut. Jaemin tidak pernah bercerita hal-hal seperti ini dengannya, dan ia juga tidak pernah berpikir akan ada saat di mana lelaki itu akan berbicara hal seperti ini.

Otaknya kesulitan berpikir sesaat—kenapa tiba-tiba si Na seterbuka ini dengannya?

"Ah? Kau mencemaskanku waktu itu?" Tanya Renjun dengan seringai jahil. Ia dulu tidak akan berani menggoda mafia di depannya, tetapi saat ini—lelaki itu nampak amat sangat menyenangkan untuk digoda. Jaemin terkekeh lagi, Renjun tidak biasanya melihat ia sebahagia ini. Tiba-tiba lelaki itu mencondongkan tubuhnya—Jaemin memeluknya, lagi. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu si Huang, bahunya yang nampak tegap menjadi merosot begitu saja. Ada deru nafas menggebu diantara mereka berdua, yang satu dari kekalutan Jaemin, dan satunya dari perasaan bingung Renjun.

interfectorem | norenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang