Hidup tidak dapat di prediksi semua di luar ekspektasi.
***
"Baru inget rumah?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pria paruh baya yang sedang duduk dengan santainya di single sofa berbahan kulit dengan harga puluhan juta.
Keadaan rumahnya gelap, tak ada pencahayaan. Pasalnya hanya ada cahaya dari lampu kuning yang tertempel sepanjang tembok membuat pencahayaan remang-remang.
Bintang yang tadinya melangkahkan kaki sontak berdiri mematung, ia sangat kenal suara yang bertanya sarkas padanya.
Bintang menekan saklar lampu sehingga ruang tamu minim pencahayaan itu menjadi terang benderang. Mendapati Stefan selaku papah-nya yang menatapnya dengan penuh intimidasi seakan Bintang adalah target yang harus segera Stefan interogasi.
Tak mau kalah dengan tatapan sang Papa, Bintang balas menatap datar. Sebelum menyahuti ucapan pria paruh baya itu, Bintang terlebih dahulu melihat jam besar yang berada di antara dua anak tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua, begitu sangat mewah. Melihat ketika angkanya menunjukkan angka 1 lewat 30 dini hari membuatnya mendesis sinis.
"Masih ingat rumah?" Bintang menaikan satu alisnya. Mengulangi pertanyaan dengan pelan namun terdengar sarkas kala melihat sang Papa dengan raut sulit di artikan.
"Saya masih ingat rumah, buktinya saya pulang seminggu sekali nggak dua tahun sekali." Lanjutnya menyindir. "... Apalagi pergi tanpa bilang-bilang selama dua tahun dari rumah,"
Mendengar kalimat yang mengandung sarkasme dari sang anak, Stefan membuang nafas. Sudah ia prediksi bahwa sang anak akan bersikap demikian, karena Stefan akui dirinya di sini bersalah. Meninggalkan anak untuk tinggal di Jepang bersama sang istri selama dua tahun lamanya untuk keperluan bisnis.
Bahu Stefan melunak, pria itu menaruh majalah yang ia sempat baca tadi diatas meja dihadapannya yang berada diruang tamu megah miliknya."Sampai kapan kamu mau kaya gitu terus?"
"Papa sama Bunda dengar kamu jarang ada di rumah, kerjaan kamu cuma buat onar kalau di sekolah, ikut geng-geng yang gak bener." Lanjutnya.
"Jarang ada dirumah?" Ujar Bintang mengulangi kalimat Stefan dengan menaikan sebelah alisnya. Tunggu sebentar, Apa Bintang tak salah dengar?
"Gak salah? Emangnya Papa sama Bunda sering ada di rumah?" Tanyanya membuat Stefan tak berkutik. "Kayanya enggak, deh. Buat kata jarang aja nggak mungkin apalagi kata sering, iya kan?"
Stefan kembali menghela nafas gusar, bangkit dari duduknya, lalu berjalan menghampiri anak semata wayangnya yang masih berdiri dekat saklar lampu.
"Papa sibuk kerja, makanya papa jarang pulang ke rumah. Papa kerja buat kamu juga Bintang," jelas Stefan menepuk bahu Bintang yang kini ada di hadapannya.
Bintang menoleh, memandang lengan Stefan yang bertengger di bahu kiri nya, lalu menghempaskannya pelan. Pandangannya kini beralih menatap wajah sang Papa.
"Kerja buat saya?" Tanyanya. Sungguh. Diri nya kini mati-matian menahan sesuatu yang mendesak ingin keluar dari pelupuk matanya. Meskipun wajah nya datar tak mengekspresikan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUL & BIN
Teen FictionMisteri, Pengkhianatan, Peristiwa, serta Lika-Liku Kehidupan, Semuanya terkuak. Permasalahan yang tak kunjung usai hingga akhirnya menemukan titik terang. Di tengah masa-masa sulit yang ia lalui, Takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis y...