02.2. 𝐓𝐨 𝐦𝐞𝐞𝐭 𝐚𝐠𝐚𝐢𝐧

1K 173 46
                                    

     "Not bad." Austin tersenyum tipis. Lalu mendudukan diri pada rumput hijau yang tumbuh dibawah pohon mangga yang sangat rindang.

     "Biasanya kita kalo bolos ke rooftop," tambah Kelvin ikut mendudukkan diri di sebelah Austin namun masih memberi jarak beberapa centimeter. "Biar kaya ada aura-aura Badboy." Lanjutnya terkekeh.

     "Nyesel banget gue baru tahu ada tempat yang enak selain rooftop." gumam Ghevan memejamkan mata nya barang sebentar sembari menghirup udara sekitar.

     Sejak ke salahpahaman yang terjadi di kardior tadi, Mereka memutuskan untuk tidak pergi rooftop melainkan ke taman belakang sekolah.

     Dimana banyak pohon-pohon rindang di sana. Tidak hanya itu, banyak juga pohon serta bunga hiasan yang sengaja di taman dan dirawat oleh penjaga kerbersihan. Membuat suasana sejuk dan siapapun yang berada disana akan merasa lebih rileks.

     "Untung kita bolos," celetuk Kelvin menyenderkan tubuhnya pada batang pohon.

     Austin menghela nafas. Kepalanya mendongak ke atas, melihat dedaunan yang bergerak terhembus angin. "Ngejar nilai yang gak ada habisnya emang capek, Otak dipaksa kerja, belum lagi harus bisa ngerti belasan materi dalam satu waktu."

     Kepala Kelvin tertoleh, mendelik menatap Austin yang sedang mendongak. "Lo lagi merendah atau lagi mau dipuji, Stin?" Sengitnya.

     Austin itu pintar, pintar dalam segala hal. Akademik maupun non-Akademik. Teman sekelasnya pun merasa iri dengan oknum berinisial ARY itu. Bahkan guru-guru pun pernah membujuk Austin selama satu Minggu agar mau mengikuti olimpiade dengan cara apapun, tapi usaha itupun sia-sia karena Austin menolak dengan mentah-mentah tidak mau mengikuti perlombaan tersebut.

     Kalau kata orang sih, Austin itu tampan, pintar, anak konglomerat pula. Selain itu. Boyfriendable.

     Kepala Austin ikut tertoleh, menatap Kelvin. "Gue ngerasa belum pinter, banyak hal yang belum gue bisa." sahutnya.

     Kelvin menghembuskan nafas. "Iya, deh. Iya, yang otaknya bebel kaya gue mah, diem aje."

     Austin mendengus. "Untung kepintaran anak sebagain dari genetik ibu, bukan dari ayah. Gak kebayang kalau lo suatu saat jadi ayah."

     Kelvin kembali mendelik. Lelaki itu melempar daun kering pada Austin karena tak terima dengan ucapan yang lelaki itu layangkan.

     "Maksud lo, kalau sebagian kepintaran anak dari genetik ayah, otak anak gue bakal bebel gitu kaya gue?!" Sungutnya.

     Mengangkat bahu tak acuh, Austin berlagak tak bersalah dalam berucap. "Gue gak ngomong gitu." 

     Jika saja Kelvin memiliki nyali yang besar, Kelvin bersumpah untuk meninju tekuk leher Austin kuat-kuat sampai berbunyi krek. Lantaran lelaki yang selalu banyak diam di antara mereka itu, jika sudah berbicara, maka kata-kata yang keluar akan langsung menyakiti lerung perasaan paling terdalam. 

     Perkataan Austin sangat pedas, meskipun apa yang Austin katakan ada benarnya. 

     "Pagi ini mapelnya siapa?" Tanya Kelvin pada akhirnya. Rasa gondoknya masih ada, tapi dirinya harus menelan secara bulat-bulat.

     "Paktar," sahut Austin.

     "Paktar sekali nya jelasin, gak ada jeda gak ada titik koma. Belom lagi kalo ngomong buat ngejelasin mapel didepan murid pasti ada aja kuah-kuah yang keluar dari mulutnya." Ujar Ghevan dengan menggebu-gebu mengeluarkan isi hatinya yang selama ini ia pendam.

BUL & BINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang