28. Di Bawah Lampu Pijar

498 60 29
                                    

Entah sudah berapa jaket yang Pod ambil, ia melihat hampir seluruh jaket yang tersedia di toko ini. Sebenarnya seperti apa yang ia inginkan? Ternyata Pod lebih ribet dalam berbelanja ketimbang perempuan. Jaket kulit, denim, parka, hoodie, hampir setiap jenis ia periksa. Tak letihnya ia mencoba dan menatap dirinya di cermin, namun tetap saja tidak ada yang sesuai dengan kemauan hatinya. Berbagai warna dari yang cerah sampai yang gelap, Pod tetap saja menggeleng cemberut karena merasa itu bukan pilihan yang tepat.

Sudah hampir dua jam, Pod masih saja mondar-mandir di bagian fashion pria. Seorang pramuniaga perempuan yang dari awal menemani Pod, mungkin sudah kehabisan tenaga di betis dan mulutnya karena melayani satu pelanggan yang cukup merepotkan. Rupanya di sebelah pramuniaga tersebut, ada seorang pria yang jauh jauh jauh lebih muak. Ia hanya duduk sambil bertopang dagu. Ujung sepatu kanannya terus menghentak-hentak, seirama dengan detik waktu yang ia habiskan untuk hal yang membosankan ini. Fluke tak menyangka jika Pod bisa semenyebalkan ini jika berbelanja. Ia melirik mbak-mbak yang bersama mereka sejak tadi. Fluke menebak ia pasti mengutuki dirinya sendiri karena menyesal telah memilih Pod untuk ia layani. Fluke begitu mengantuk. Tentu saja demikian, karena setelah ia selesai mandi di hotel, Pod langsung memaksanya untuk menemaninya pergi ke Grand Indonesia Shopping Mall. Fluke sudah berusaha menolak, tapi ia diseret secara paksa bak mau dijebloskan ke dalam neraka. Dan ternyata ini memang neraka.

"Kenapa kamu gak buat jaketmu sendiri kalau semua menurutmu tidak bagus?" sela Fluke.

Pod yang masih memegang satu setel jaket menjawab, "Kalau begitu kenapa kamu gak buatin aku satu?"

"Helloo... Memang anda siapa yaa sampai aku mesti serepot itu?" Fluke membuang nafasnya.

"Pacarmu kan?"

Kedua mata Fluke langsung melotot. Tubuhnya menegang setelah ia melihat reaksi si pramuniaga yang juga tidak kalah terkejutnya. "Ja-jangan asal ngomong ya!" Ia mendapati mbak di sebelahnya sudah tersipu malu sambil senyum-senyum penuh kepuasan.

Fluke mencoba untuk bersikap tenang dan tidap peduli. Tapi tetap saja gelagatnya tidak bisa disembunyikan. Dengan wajah merona merah, ia menghampiri Pod lalu merampas jaket yang diambilnya dan meletakkannya di tempat semula. "Kalau memang gak mau belanja, mending kita pergi aja!"

Bukannya menjawab, Pod malah terkekeh. Ia memutar tubuh Fluke menghadap ke mbak pramuniaga yang masih setia berdiri di dekat mereka. "Lihat deh mbak, kayanya dia malu banget..."

Diperlakukan demikian, Fluke malah menerima senyum bahagia yang paling ramah dari mbak pegawai toko tersebut. Yang tentu saja membuat Fluke semakin panas seperti kepiting rebus.

"Poddd!!! Ngomong apa sih!" Fluke meninju lengan Pod.

"Tuh kan! Saya sampai dipukul-pukul nih..." Pod menerima saja pukulan-pukulan salah tingkah dari Fluke.

"Kak udah-udah... Pacarnya jangan digituin," ujar si pramuniaga.

"Pacar apa sih mbak?! Dia bukan pacar saya! Udah deh mbak, gak usah layani dia. Kita mau pergi aja..." Fluke tak punya cara lain selain mengajak Pod kabur.

Pod nyengir lagi. "Tapi aku belum beli apa-apa Fluke..."

"Kamu ini sebenarnya mau belanja atau mau godain aku?"

"Keduanya sih..."

Fluke menggeplak dada Pod. "Kalau gitu aku aja yang pergi!"

"Eitss..." Pod menahan pergelangan tangan Fluke,"Gitu aja ngambek..."

"Siapa yang ngambek?!" Pekik Fluke yang tanpa ia sadari kalau intonasinya terlalu tinggi.

"Sssstttt... Kamu salting banget, sampai ganggu pelanggan yang lain."

Balance of FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang