27. Panas

563 57 15
                                    

Guncangan yang berasal dari pergerakan bus yang berjalan begitu terasa bagi penumpang di dalamnya. Setiap tikungan membuat semua peserta tour bergoyang ke kanan maupun ke kiri. Ini masih pagi, jadi wajar saja suasana di dalam bus masih terdengar bising. Tenaga yang tersedia dari mahasiswa-mahasiswa yang memang anti kalem masih berkobar-kobarnya. Pada kesempatan inilah mereka bisa bebas mengekspresikan diri. Terlebih lagi perjalanan pagi ini cukup lancar, mengingat Kota Jakarta memang terkenal dengan arus lalu lintasnya yang selalu macet.

Penampakan gedung-gedung pencakar langit mulai memenuhi panorama di mata New. Dari kaca jendela ia bisa melihat langit ibu kota yang berwarna biru muda. Bersih tanpa ada kehadirann sehelai awan pun. Beruntunglah ia masih bisa melihat beberapa tanaman atau pohon yang tumbuh dengan rindangnya. Tanpa disadari, di kepalanya, New mulai membandingkan pemandangan antara Jakarta dan Bali. Padahal ia bukan keluar negeri, tapi ia sudah mulai melakukan penilaiannya. Namun, sepertinya rombongan ini belum masuk ke bagian dalam Jakarta yang sesungguhnya. Karena dari kaca jendela supir, New bisa melihat ada langit yang sekelabu polusi menanti di depan mereka.

Walaupun demikian, tidak ada visualisasi yang dapat menandingi pemandangan di sampingnya. Begitu dekatnya tanpa celah sedikit pun, sosok seorang Tay Tawan Vihokratana tengah duduk di sebelahnya hari ini, mungkin sampai lima hari ke depannya. New memperhatikan bagaimana struktur wajah Tay dari siluetnya yang terbentuk karena melawan cahaya dari luar jendela. Rambutnya yang bergelombang macho membentuk jambul yang menantang gravitasi. Lalu hidungnya yang mancung yang selalu menambah daya tariknya. Bibirnya yang tidak menampilkan ekspresi apapun membuat New semakin terpukau. Dan bagian yang paling istimewa adalah bagaimana adam apple milik Tay yang bergerak naik turun.

Tay menoleh tanpa peringatan, membuyarkan kegiatan New yang sedang menikmati wajah rupawannya. Sontak saja New kalang kabut lalu memalingkan penglihatannya.

"Kamu lihat apa?" Sekarang giliran Tay yang menilik gerak-gerik New yang mencurigakan.

"Gak ada kok."

Tay menempelkan punggung tangannya lagi di kening New. "Kamu gak sakit kan?"

"Enggak." New berusaha mencari posisi duduk yang paling nyaman. Tapi itu justru membuat lengan kanannya bersinggungan dengan lengan Tay. Entah kenapa kontak seperti itu saja membuat darah New berdesir. Bagai diberi sebuah kesadaran sekali lagi, bahwa sekarang ada Tay yang selalu menjaganya di sisinya. New secara sengaja memberi aksi lagi, ia mengulang sentuhan antar lengan atasnya. Siapa yang menyangka jika Tay ternyata membalas. Seperti tidak pernah nyaman duduk di dalam bus, mereka terus saja menggeser tubuh mereka di tempat. Karena memang lebar kursi bus ini sangat pas dengan lebar bahu mereka berdua.

Tay menepuk paha kanan New. Telapak tangan yang besar itu hanya bergerak meraba-raba di sana. New pura-pura tidak menghiraukan, padahal dari dalam tubuhnya, syaraf di permukaan kulitnya sedang bersenang-senang mempermainkannya.

"New..." Tay berbisik.

"Iya?"

"Apa aku boleh meminjam ponselmu? Lagian kamu gak main handphone kan di bus."

"Buat apa? Memang ponselmu mati?"

"Bukan, tapi aku tahu kalau playlist-mu selalu bagus."

New mengangguk paham, kemudian ia mengeluarkan ponsel Samsungnya dan menyerahkannya kepada Tay.

"Thanks Newwie, dan yang paling enaknya lagi, dengar lagu pakai ponselmu itu bisa offline. Jadi, gak perlu boros kuota."

New berdeham malas sembari memutar kedua bola matanya. Tay bersikap demikian karena ia tahu kebiasaan New yang gemar sekali mengunduh lagu.

Balance of FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang