Ia sudah menduga sejak awal jika momen ini pasti akan terjadi. Namun tetap saja ketika matanya bertemu pandang dengan orang itu, rasanya begitu kacau. New masih menjauhi lift dengan langkah yang tergesa-gesa. Kemana pun, asal tidak harus berpapasan dengan Tay. Ia belum ingin melihat sosok pria itu saat ini. Sudah cukup baik ia sekarang lebih fokus dengan kegiatan magangnya, tapi dunia ini terlalu sempit bagi mereka berdua.
Dada yang mendadak berdegup kencang. Keringat yang mengucur dari pelipisnya. New tak bisa menyembunyikan wajah cemasnya. Napasnya tercekat sekali lagi ketika ia melihat seorang pria paruh baya keluar dari sebuah ruangan tepat di hadapannya. Lebih menakutkannya lagi, pria tersebut menyadari keberadaannya. Melempari dirinya dengan tatapan sinis yang membuatnya terasa begitu rendahan.
"Kamu New kan?"
New menyesap bibirnya. Ia tidak memiliki kekuatan untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut. Namun, isi kepalanya sudah panik sejak tadi. Dia papanya Tay kan?
"Ngapain kamu di sini? Tay sama sekali tidak punya waktu buat kamu."
"Ayah!" panggil Tay dengan suara yang terengah-engah setelah berlarian.
"Tay, apa kamu yang mengajaknya kemari?" Ayah Tay tampak tak begitu ramah kepada New.
"Bukan ayah, dia datang bersama karyawan dari konsultan kita," jawab Tay apa adanya.
Ayah Tay memperhatikan New lagi dari atas hingga ke bawah. Sebelum pergi ia berkata, "Tay, setelah ini temui ayah di ruangan kerja."
"Baik ayah." Tay menundukkan kepalanya.
Setelah Ayah Tay berlalu, kini New tak tahu harus berbuat apa di tengah situasi dingin ini.
"New, aku—"
"Sudah, aku gak mau dengar apa-apa lagi Tay!" potong New tegas.
Mook yang sedang menyusul New tidak sengaja berpapasan dengan Ayah Tay. Walaupun gelagat mereka seperti orang yang saling tak mengenal, tapi sesungguhnya ekor mata mereka sama-sama melirik ke arah satu sama lain. Seutas rasa sakit hati yang mendalam tersirat kuat dari sepasang mata seorang Mook. Satu hal yang muncul di kepalanya, bahwa ia tidak akan pernah lupa dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu.
Semuanya dibiarkan begitu saja. Mook sama sekali tidak ada niatan untuk menghentikan si pria kepala keluarga Vihokratana itu. Ia lebih mengutamakan New yang barusan bersikap aneh secara tiba-tiba. Dan begitu kesalnya dirinya ketika mendapati New yang sedang berusaha didekati oleh Tay.
"New!" pekik Mook.
Yang dipanggil pun menoleh. "Aku harus kembali bekerja." New membalikkan badan dengan mudahnya tanpa peduli kondisi seseorang yang ia acuhkan.
Bagai seonggok batu yang tak bernilai. Tay hanya bisa bergeming menerima sikap New yang berlawanan seratus delapan puluh derajat dari yang ia kenal sebelumnya.
***
Secangkir kopi hitam yang ada di atas meja mengepulkan uap panas yang terus melayang ke udara. Jari-jemarinya yang dihiasi kerutan-kerutan tipis masih lihai menari di atas sekumpulan tombol keyboard. Wajah seriusnya mungkin bisa saja membuat layar monitor yang ia perhatikan menjadi ketakutan setengah mati. Namun, di tengah keseriusannya bekerja sepertinya ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya.
'Tok! Tok! Tok!'
"Ya, masuk!" sahutnya.
Pintu pun terbuka, menampilkan seorang putra Vihokratana yang sudah tidak memiliki tenaga kehidupan di raganya. Wajahnya tak lagi memancarkan aura menyenangkan seperti dahulu saat ia aktif di kampus. Semua ini bermula saat ia sadar bahwa dirinya baru saja kehilangan seseorang di sisinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Balance of Feelings
Fanfiction[COMPLETE] Tag: Boyslove, Bromance, Youth, Campus Life Kemana-mana selalu disangka 'akrab' dan 'dekat' seperti gula dan semut. Namun bagi Tay dan New, kata-kata tersebut bukanlah hal yang sederhana. Mereka justru terperangkap di ruang gelap persahab...