09. Grey on Your Mind

556 71 4
                                    

Tay merasa kurang bersemangat hari ini. Apa yang diragukan New kemarin membuatnya tidak bisa tidur nyenyak tadi malam. Jika ia memikirkan hal ini terus menerus, justru menimbulkan pertanyaan lain. Secara logika, kenapa ia harus memikirkannya? Bukankah semuanya baik-baik saja? Memang kenapa kalau dirinya membantu menyelamatkan sahabatnya sendiri? Apa Tay salah jika ia membenci Mek? Logika di kepala dan perasaan di hatinya seperti dewa surga dan neraka yang saling bersinggungan. Tay muak memusingkan ini. Terlebih lagi ia mulai kesal membuat simpul dasi di lehernya. Ia sudah melakukannya berkali-kali tapi tetap saja tidak terlihat bagus.

Tay bergeming. Ia melempar kesal dasi berwarna hitam yang dipegangnya dari tadi. Duduk sejenak di tepian tempat tidur mungkin bisa membuatnya lebih rileks. Tay berdeham. Ia menatap dirinya lagi di cermin. Persis seperti apa yang ia lakukan di toilet pria sendirian kemarin. Tiba-tiba ada rasa gentar yang menghampiri. Ia meragukan keteguhannya.

"Tay, siapa dirimu? Sebenarnya apa yang kamu takutkan?"

Ia memperhatikan ke sekeliling kamarnya yang luas dan sepi. Rasanya begitu hening. Entah kenapa Tay merasa apa yang sudah ia jalani dalam hidupnya hanyalah sebuah permainan sandiwara. Terasa semu. Padahal ia tak kekurangan apa pun. Hidupnya berkelimpahan, masih ada orang tua yang lengkap, dan hubungan dengan kekasih yang terasa mulus-mulus saja. Selain itu, ia masih memiliki teman-teman yang super seru, serta sahabat seperti New.

"New?"

Tay menelaah lebih dalam lagi kata hatinya. Ia tak bisa berbohong. "Aku ingin menemuimu. Melihat wajahmu dan duduk di sebelahku seperti biasanya." Mimik wajah Tay memancarkan jiwa yang memohon.

"Aku tahu aku konyol. Tapi aku menyesal bersikap seperti itu padamu kemarin," gumamnya pada diri sendiri. Kegundahan inilah yang mengganggunya selama semalaman. Dan hari ini ia malah tidak bisa mengatasinya.

"Tay, sudah selesai belum? Buruan nih!" teriak ibu Tay dari luar kamar.

"Belum ibu!" balas Tay yang segera mengambil dasi dan mencoba untuk memakainya kembali.

"Ibu masuk ya?"

"Iya ibu, masuk aja."

Ibu Tay masuk ke kamar dengan penampilan yang sudah cantik. Gaun berwarna biru tua menghiasi tubuhnya yang masih nampak kencang. Riasan wajahnya tidak terlalu tebal, memberikan kesan kalem namun tetap elegan.

"Kamu ngapain sih Tay? Kok lama banget..." Keluh ibu Tay setelah mengetahui bahwa anaknya ternyata belum selesai berpakaian.

"Ini ibu, pakai dasinya gak bagus-bagus." Tay membongkar lagi simpul dasi yang sudah ia buat.

"Mana sini ibu bantu." Ibu Tay langsung merebut dasi dari tangan Tay, lalu memutar tubuh putranya agar menghadap kepadanya. Dengan lihai kedua tangannya membuat simpul dasi yang sempurna.

"Bagus, kan?"

"Iya bagus," puji Tay sambil menyesuaikan kelonggaran dasi di kerah kemeja putihnya.

"Anak ibu ganteng banget ya." Ibu Tay tersipu dengan ketampanan putranya melalui cermin di depan mereka.

"Iya dong, Tay kan anak ibu." Hanya dengan pujian seperti itu, Tay langsung cengar-cengir.

"Tapi sayang sekali, kalau kamu sudah menikah nanti, tugas memakaikan dasi sudah beralih ke istrimu nanti."

Tay berdecak. "Ibu, Tay sudah bilang berkali-kali kan, jangan keseringan ngomongin topik kaya gitu deh. Tay belum siap nikah, bu. Tay kan masih muda, belum lulus kuliah lagi."

Ibu Tay terkekeh. "Iya-iya ibu tahu kok. Tapi sebenarnya ibu sama ayah kamu gak masalah kok kalau kamu nikah dini. Apalagi pacar kamu cantik, kan? Kuliah kedokteran lagi, sangat berpendidikan."

Balance of FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang