03. Semasam Yogurt

786 78 24
                                    

Ditatapnya sebuah topi yang didominasi oleh warna biru dan kuning. Di tengahnya terbordir dengan rapi logo kampus berbentu segilima. New menghela nafas lagi untuk yang kedua kalinya. Setiap ia membuka lemari pakaian, pandangan matanya tidak pernah absen dari topi tersebut. Jika New berpikir, mungkin itu bisa dikatakan sebuah kebetulan yang berakhir manis. Manis untuknya. Terlebih lagi sosok dari pemberi penutup kepala tersebut sudah berada dalam jangkauannya dengan mudah. Ia tidak harus menjadi pengagum rahasia yang harus mencuri-curi pandang di setiap kesempatan yang ada. Tentu saja ia tidak perlu melakukan itu, karena justru dialah yang akan selalu dicari. Begitu mudah bukan?

Tapi satu hal kecil masih sangat mengganjal di hati New. Ia sama sekali tidak pernah bertanya atau mengungkit soal peristiwa di hari pertama ospek itu kepada Tay. Haruskah ia melakukannya? Ini terasa sangat sepele. Tapi entah mengapa New merasa akan ada hal yang berbeda jika ia mengungkapkan hal tersebut. Topi ini sama sekali belum pernah kembali ke pemiliknya. New merenung lagi. Pentingkah ini? Ah, sudahlah! Biarkan saja semua berlalu. Walaupun jika Tay sama sekali tidak mengingat wajahnya, itu bukan masalah besar. New bisa memulai semua dari awal. Tentu saja ia bisa membuat impresi yang baru untuk Tay terhadap dirinya. Insiden topi bukan sebuah aib yang merugikan, jadi tidak berdosa jika ia menyimpan ingatan tersebut sendiri. New tersenyum simpul. Sudah tidak seharusnya ia berpikir berlebihan soal hal kecil ini.

***

Sudah jadi rutinitas bagi Fluke. Ketika baru sampai di kampus, kelas bukan tujuannya, melainkan kantin. Ia begitu yakin, ibu penjaga kantin langganannya pasti sudah menanti kehadirannya dan bersiap untuk melayaninya. Masalah umum semua pelajar di pagi hari bukan hal yang harus ia pikirkan. Belum buat tugas essai? Gampang. Ada kuis dadakan? Lewat. Jadwal dosen killer ngajar? Ah! Cuma upil itu. Yang terpenting itu cuma satu. Makan dulu, baru jadi mahasiswa teladan. Walaupun pada akhirnya ia berujung mengantuk di bangkunya.

Setelah menyantap sandwich yang penuh dengan daging dan selada, Fluke bangkit dari meja makannya dan berjalan menuju kulkas minuman.

"Waaahh, mahasiswa kesayanganku rajin banget sarapannya. Pantes aja bodinya yahuddd..." Sapa Tante Jasmine, si ibu kantin, dengan nada yang menggoda.

Fluke sudah terbiasa dengan kelakuan perempuan paruh baya tersebut. Walaupun sudah berumur, tapi Tante Jasmine tidak setua itu. Penampilannya masih bugar, dan yang terpenting ia mudah bergaul dengan anak muda. Jadi, Fluke sama sekali tidak merasa risih. "Iya dong, besok-besok ditambah lagi dong dagingnya tante. Biar aku makin ketagihan nih." Kalimat Fluke sukses membuat Tante Jasmine tersipu, yang kemudian dibalas dengan tanda OK dari tangannya.

Fluke sudah kehausan, ia bergegas membuka kulkas minuman. Tapi sayang, secepat-cepatnya Fluke, ada seseorang yang lebih cepat merebut minuman incarannya.

"Hei! Itu punyaku!" jerit Fluke sambil memandang kesal pria bertubuh maskulin yang sudah memegang minuman yogurt rasa jeruk favoritnya.

"Jangan merengek! Ambil lagi bisa kan?" Pria berkemeja jurusan teknik tersebut terlalu santai, tapi ia juga memberi tatapan aneh pada Fluke.

"Itu tinggal satu tahu! Punya mata bisa lihat gak?!" Mulut Fluke mendesis. Rasa kering di tenggorokannya memperparah keadaan dirinya.

Ekor mata pria tersebut sempat melirik sekilas ke arah kulkas. Dan benar saja, ia telah mengambil sisa terakhir. "Ya, berarti kamu kurang beruntung."

Krek!

Fluke menelan ludahnya ketika pria di hadapannya tanpa ragu membuka segel botol minuman yogurt tersebut. "Tapi aku yang buka kulkasnya, harusnya itu buatku. Dasar perebut!"

"Sadar diri ya... Kamu itu mahasiswa tahun pertama kan? Jadi harus ngalah sama senior." Dengan gestur berkecak pinggang, ia sudah mengarahkan bibir botol ke bibirnya sendiri.

Balance of FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang