32. Danau

457 57 16
                                    

New mengeluarkan tangan sebelah kirinya ke jendela mobil. Merasakan bagaimana angin sejuk yang membelai indera di permukaan kulitnya. Kecepatan mobil yang melaju menghasilkan sapuan ringan yang membuat helaian-helaian rambut poninya tertiup. Ia menatap pemandangan luar. Langit biru muda yang dihiasi gumpalan awan terlihat begitu menarik. Dari kejauhan terbentang alam terbuka yang hijau dan memanjakan mata. Di beberapa titik, ia bisa menemukan petak-petak kecil berwarna cokelat kemerahan, yang bisa ditebak kalau itu adalah rumah-rumah pemukiman penduduk. Ia semakin terpukau dengan jajaran bukit asri nan subur di setiap jangkauan pandangannya. Nuansa alami mengisi relung hatinya. Memberi secercah ingatan mengenai rahasia alam, bahwa apapun yang terlahir di atas bumi pertiwi ini, semua pasti membutuhkan karunia alam dan akan kembali ke alam juga pada akhirnya.

Jalur aspal yang masih ia telusuri dengan kendaraan bermesin ini membawanya ke sebuah rencana dari jauh-jauh hari yang baru bisa ia wujudkan. Bukan seorang diri, melainkan bersama seseorang. Suara dari muatan barang-barang di belakang akibat guncangan mobil mengisi kekosongan di antara keduanya. Bagai bersama orang asing, dua pria ini tidak mengobrol luwes seperti biasanya. Entah apa yang terjadi, namun keberadaan mereka satu sama lain yang membuat suasana jadi senyap. Seperti sedang saling menunggu siapa yang akan mulai berbicara.

"New, apa kamu senang hari ini?" tanya Tay lebih dulu.

New menoleh sekilas pada Tay yang sedang menyetir, namun selanjutnya ia kembali melihat ke depan sambil menumpukan kepalanya pada pergelangan tangannya yang bersandar di bingkai jendela mobil. "Ya tentu saja..."

"Aku cuma ngerasa kamu kaya terpaksa menuruti rencanaku."

"Eh, enggak-enggak kok," bantah New. Pertanyaan tersebut membuatnya tidak enak hati sekarang.

"Kalau kamu memang gak mau, kita bisa putar balik lagi ke Denpasar, tempat kemahnya juga masih lumayan jauh."

Ya ampun. Kenapa jadi seperti ini sih? New akui sejak berakhirnya acara study tour, Tay selalu membicarakan acara kemah ini. Namun, New selalu beralasan untuk menundanya hingga akhirnya ia sudah kehabisan ide untuk berkelit. Sampai akhirnya harinya tiba, ia dan Tay tancap gas menuju bumi perkemahan. Siapa sih yang merasa tidak gugup? Seseorang yang disukainya dengan penuh antusias mengajaknya untuk berkemah hanya berdua saja di alam terbuka. Inilah yang menjadi penyebab kenapa New menghindari adanya hari ini, walaupun saat di bus ia mengiyakan saja permintaan Tay. "Jangan Tay. Kita lanjut saja. Jujur aku merasa bersalah karena aku menunda rencana kita sampai kita sudah mau menuju semester akhir begini. Aku gak mau kamu kecewa Tay."

Tay menyunggingkan senyumannya selama sepersekian detik. "Gak masalah. Awalnya tujuan aku mengajakmu berkemah memang untuk refreshing sebelum mejalani semester-semester akhir yang sulit. Tapi lihat sekarang, semua baik-baik aja asal aku bersamamu."

New menyesap bibirnya. "Tay, kenapa kamu pengen banget kemah sama aku?"

Tay mendengar, tapi ia pura-pura fokus menatap jalanan di depannya. Memberinya jeda sementara sebelum ia menjawab, "Aku pernah bilangkan kalau aku mau menghabiskan waktu berdua aja sama kamu. Kamu sendiri juga tahu kan New, kalau di semester enam kita gak ada perkuliahan di kelas lagi. Kita semua akan bersiap-siap untuk magang."

Oke. Jawaban yang cukup logis dan memuaskan. Namun, kenapa masih terdengar abu-abu bagi telinga New. Apa yang dikatakan Tay itu benar, mereka segera menjalani puncak pendidikan mereka di dunia yang lebih nyata. Jadi, menurut Tay perjalanan ini mugkin dianggap penting baginya.

"Baiklah, aku mengerti." New hanya manggut-manggut. Mungkin akunya aja yang terlalu gelisah. Nikmati sajalah, batinnya.

***

Balance of FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang