Dipanggilnya Erlan.
Teman masa kecil Soraya, rumah mereka persis bersebelahan.
Rumah orang tua Erlan berwarna putih gading yang terkesan nyaman, cahaya matahari masuk ketika pagi hari, ayunan kayu di halaman belakang menghadap tembok rumah sebelah, tiap sore sambil menunggu ayahnya pulang Erlan duduk disana memerhatikan seseorang dibalik dinding rumah itu belum bisa ia selamatkan dengan kedua tangan mungilnya.
Berbeda dengan rumah Erlan, rumah orang tua Soraya berwarna abu gelap ditutupi pohon-pohon rimbun yang tinggi, rumput liar setinggi pinggang orang dewasa, dan sedikit cahaya matahari seakan tak cukup pagar tinggi hitam berlumut itu tidak pernah ramah di mata anak-anak begitupun mata Erlan.
Katanya rumah itu berhantu, seperti burung pembawa kabar gosip itu melesat cepat ditelinga anak-anak.
Erlan tidak ingat kapan pastinya, sewaktu ia umur 11 tahun dan rumah sebelahnya belum lama diisi lalu pergi dan sekarang keluarga lain mengisi rumah itu, menuju petang mobil mereka berhenti bersamaan dengan mobil pengangkut barang suara mereka terlalu ramai untuk menarik perhatian yang lain.
Erlan dengan teman-temannya yang sehabis bermain sepeda pun ikut penasaran kemudian untuk pertama kalinya ia melihat gadis kecil sedang memeluk boneka beruang.
Tidak ingin bersikap peduli Erlan melewati begitu saja lalu masuk ke dalam rumah tidak seperti mamanya yang mengajak mereka berbicara, ia rasa siapapun yang mengisi rumah berhantu itu takkan pernah lama mungkin kali ini hanya mencapai batas waktu 3 bulan seperti yang lain.
Esok harinya siang itu sehabis pulang sekolah Erlan menemukan satu kotak berwarna merah muda berisi mainan anak perempuan didekat pagar rumahnya. Pikirnya mungkin lupa dibawa ke dalam saat penurunan barang kemarin.
Anak lelaki yang kini masih memakai seragam itu sedikit berjinjit untuk menekan bel, menunggu pagar hitam didepannya terbuka tetapi yang ia dengar hanya suara anak perempuan yang kesulitan menggeser pagar.
"Didepan siapa? Kata ayah kalau ada surat penting masukin aja ke kotak surat warna merah," ujar Soraya berteriak sedikit takut.
"Ini aku Erlan dari rumah sebelah, kardus mainan kamu ketinggalan didepan rumah aku!" katanya berteriak tak kalah nyaring.
"Itu.. itu dibuang." ucapannya terdengar ragu-ragu di telinga Erlan.
"Dibuang? Nggak kok aku nggak ngambil yang di tempat sampah tapi sebelahnya lagi," kata Erlan sambil mengedarkan pandangan ke kotak sampah besar disebelah kanannya yang berisi beberapa kotak kardus.
"A-ayah yang buang tadi pagi kotaknya dilempar, kata ayah harusnya ayah buang aku juga jauh-jauh, ayah juga bilang—" semakin didengar yang ada hanya suara isak tangis.
Erlan pun terdiam ia menaruh kotak kardus didekat kakinya, lalu berjalan mendekati pagar mendorong sekuat tenaga walaupun yang bergerak hanya sedikit tetapi cukup untuk ukuran gadis kecil itu.
"Kamu pasti Soraya 'kan? Mama yang bilang kemarin," Erlan akhirnya melihat jelas gadis kecil itu dari dekat, rambutnya berponi warna hitam sepunggung, pipinya memerah ada lebam ungu di lengan kanannya.
Soraya mengangguk sambil menangis sesenggukan, melihat anak laki-laki itu dengan kedua tangannya memeluk kotak mainan berwarna merah muda miliknya.
"Mainan ini aku simpan buat kamu, mau ya?" ujar Erlan antusias dengan mata berbinar menatap Soraya lembut.
"Caranya supaya bisa ketemu mainan ini kamu harus ke rumah aku siang-siang. Hmm.. tapi kalau siang aku juga suka lagi tidur, tapi kamu dateng aja! Mama aku yang bakal bukain pintu paling lagi nonton TV." jelasnya panjang lebar dengan ide tanpa persiapan.
Erlan menarik pelan tangan Soraya untuk keluar dari rumah itu, lalu menutup pagar dengan sisa tenaganya.
"Main di rumah aku aja yuk, di rumah kamu pagarnya susah didorong." ujar Erlan beralasan.
Soraya setuju-setuju saja, membiarkan teman barunya itu menggenggam tangannya untuk masuk ke dalam rumah berwarna putih gading, lalu dicegat saat melewati ruang tengah oleh ibu pemilik rumah.
"Ya ampun Lan, kok baru pulang terus ini siapa yang kamu bikin nangis?" tiba-tiba ibunya muncul dengan apron merah mencoba mengintip dibalik badan putranya ada seorang anak perempuan.
"B-bukan aku kok ma! Tanya aja," ucap Erlan yang berada didepan Soraya lalu menggeser badan agar gadis kecil itu bertemu dengan mamanya.
Agak kesulitan membawa kardus mainan dengan satu tangan, akhirnya Erlan melepaskan tangannya dari tangan Soraya.
"Soraya.. dari rumah seb—" perkenalan perempuan kecil itu terpotong dengan suara perut laparnya yang ternyata lebih keras.
"Soraya juga belum makan 'kan? Ikut yuk sama mama Erlan makan didalam." ajak wanita itu lalu tanpa aba-aba menggenggam tangan kiri Soraya.
Erlan lalu pergi ke atas dimana kamarnya berada dengan segera menaruh kotak mainan itu, kemudian berganti baju dan pergi ke meja makan duduk bersisian disamping Soraya.
Mamanya pun menaruh hati-hati dua mangkuk kecil berisi sup ayam dihadapan mereka, begitu pun dengan nasi hangat. Erlan menatap Soraya disampingnya yang tampak agak ragu, dengan cepat ia mengambil dua alat makan, gadis kecil yang kini melihatnya akhirnya mengambil sendok yang Erlan beri.
Soraya menyuapi makanan itu ke dalam mulutnya rasanya hangat, matanya sedikit panas sekarang. Ah bukan ini saja tetapi rumah ini rasanya pun hangat ucap Soraya didalam hati merasa getir.
Mengingat bagaimana ayahnya yang selalu meninggalkannya tiap pagi tanpa sarapan di meja, hanya ada kulkas dengan susu kotak sudah basi, lemari makanan berisi kaleng sarden yang selalu ia makan dengan nasi setengah kering. Setelah itu ayahnya pulang tiap malam dengan keadaan sama hancurnya seperti sarden yang Soraya makan sepanjang hari.
Kemudian entah sejak kapan tubuhnya mulai dipukuli karena alasan sepele, tidak seperti ibunya yang menghilang tiba-tiba, lebam itu tidak pernah hilang seakan ia suka bersemayam di tubuh kecilnya.
Soraya hidup berdampingan bersama tukang pukul dengan wujud ayahnya, sudah cukup kehilangan ibunya Soraya juga tak ingin ayahnya ikut pergi meninggalkannya. Ia merasa mungkin ia bisa menahan diri menerima semua pukulan itu.
Sejak dulu Erlan tahu yang bisa ia lakukan waktu itu hanya menahannya sampai sore hari lalu terpaksa membiarkan Soraya pulang ke rumah sebelah. Erlan rasa rumah itu tidak berhantu melainkan dikutuk.
Kemunculan Soraya 7 tahun lalu bagi Erlan seperti badai hujan yang sangat deras, dingin dan menyakitkan.
Erlan tak takut kehilangan apapun selama ia bisa menanganinya, tetapi bagi laki-laki itu kalau sampai ia harus kehilangan Soraya, hanya ia dan keluarganya yang tahu kemana ia akan pergi yaitu beradu tinju seperti orang kesetanan dengan tukang pukul di rumah sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rehat
Short StorySetengah perjalanan yang kau tempuh. Belum cukup. Belum sampai. Masih ada setengahnya lagi, untuk kau raih. Kita ada untuk tetap bertahan meski semuanya rumit. Kita ada tanpa pernah tahu jalan yang dituju amat penat. Kita tahu, kalau sebuah perasaa...