20 | yang tak utuh.

62 6 0
                                    

Camellia adalah mantan pacar Ezra.

Setelahnya hubungan mereka seperti Ezra 'anak kesayangan kedua' ibunya Camellia. Karena memiliki hobi yang mirip, ibunya Camellia seakan memberikan lampu hijau untuk keduanya, saat itu.

Halte bus, berlarian diantara hujan, kafe di simpang jalan, lapangan basket, perpustakan kota, pelarian malam hari saat Camellia tak sengaja dikejar seekor anjing jalanan dan rooftop gedung.

Ezra terlalu banyak memiliki kenangan tentang Camellia, mau ia lupakan, tetapi rasa-rasanya ia tidak rela.

Setiap ia melewati tempat-tempat itu kenangan terputar sangat jelas. Dirinya terlihat tertawa di bawah hujan saat Camellia menarik tangannya untuk berlari.

Euforia jatuh cinta.

Seperti letupan-letupan kembang api yang pecah saat malam hari, perasaanya seperti itu. Persis.

"Mana sini tangan kamu,"

"Tangan kamu juga dingin ya,"

"Aku nggak bawa payung, nggak apa-apa ya?" sambil mengusap telapak tangan Camellia.

Camellia tertawa kecil, melihat tingkah Ezra lucu.

"Udah basah kuyup, buat apa pake payung,"

"Ayo lagi!" ajak Camellia menarik dirinya yang sebelumnya mereka sedang berdiri dibawah genting toko yang tutup.

Gadis itu tertawa puas melihat Ezra terkena percikan air yang ia injak, lalu berlari menjauh dari kejarannya. Tertawa lucu karena keduanya sama-sama terlihat aneh, dibawah orang-orang yang memakai payung.

Perhentian kereta di stasiun membuyarkan lamunannya dengan orang-orang yang sibuk masuk dan keluar, Ezra berdiri dari duduknya untuk ikut berjalan keluar.

Berjalan naik ke arah tangga membawa tasnya untuk pulang ke rumah. Sampai pada satu titik, ia melihat dia tak sengaja di kursi tunggu stasiun.

Itu, Camellia.

Ezra menghembuskan napasnya lega, untunglah ia terlihat baik-baik saja.

Berdiam diri beberapa meter darinya, Ezra takut, ia takut pada dirinya kalau-kalau dirinya tak sadar berlari ke arah gadis itu, untuk memeluknya. Yang sudah ia tidak temui dua minggu.

Ezra balas menatap Camellia, dua-duanya berdiam menahan diri. Menahan diri untuk bilang kalau mereka rindu kalau mereka salah waktu itu untuk menuturkan kata maaf.

"Ezra," ujar Camellia kaku, setelah berjalan pelan sambil membawa kantung kertas.

"Mama nitip ini untuk kamu, kata mama kalau mau buku yang lain nanti dipinj-"

Ia memeluk Camellia.

Sialan, biarkan dirinya merutuki itu nanti.

"Jangan begini," ucap Camellia terdengar seperti permohonan, ia tak membalas pelukannya sama sekali.

Pelukan mereka terlepas, memastikan keduanya baik-baik saja. Lalu Camellia mengajaknya duduk di kursi melihat orang-orang yang sibuk berlalu lalang, juga melihat Ezra yang ingin berbicara.

"So how was your day?" tanya Ezra mulai berbicara.

"Seperti biasanya."

"Without me?" tunjuk Ezra pada dirinya sendiri mencari jawaban yang selamanya mungkin tak pernah ia temukan di Camellia.

"Yes, without you." ucap Camellia dengan jeda.

Ezra menatap lama yang dulu pernah jadi gadisnya, tersadar bahwa Camellia memotong rambut panjangnya, menjadi sebahu.

"Tumben, bukannya paling suka dipakein aksesoris nanti masih bisa?"

"Masih," Cameliia mengangguk seadanya.

"Hmmm," Ezra terlihat berpikir.

"Sebentar, nah gini tadi kurang rame," sambil memasangkan jepit rambut yang ia simpan di saku kanannya.

"Ezra aku-"

"Nggak, aku nggak mau dengar,"

Ezra tidak ingin mendengarnya lagi, ingatannya terlalu kuat untuk mengingat rasa sakit, mungkin disuatu tempat terukir jelas.

"Aku minta maaf," Camellia akhirnya menatapnya.

"Kamu nggak salah, Li." tuturnya setengah mati menahan kalimat yang sebenarnya ia ingin ucapkan.

"Nggak salah darimana? Aku mutusin kamu tanpa alasan apa-apa." kalimat itu akhirnya keluar dari Camellia.

"Itu hanya hubungan." sela Ezra dengan cepat.

"Tapi bagi kamu itu penting." kalimat itu telak, seakan itu jadi pukulan mau tak mau dirinya balas berkata sebaliknya.

"Camellia, biar aku perjelas lagi kalau aku jadi kamu, aku juga bakal pilih keputusan itu nggak apa-apa sesekali egois itu boleh." Ezra memalingkan wajahnya ke depan tak lagi memandang gadis disampingnya.

"Kenapa waktu itu kamu nggak marah?"

"Memangnya aku bisa?" tanya Ezra setengah putus asa, yang bahkan ia sendiri tahu jelas jawabannya.

Suara-suara di sekitar mereka mulai membaur, menandakan keduanya tak ingin berbicara lagi. Atmosfer yang dingin.

Lalu Camellia menyerahkan kantung kertas itu, meraih tangan kirinya untuk mengambil karena sedari tadi ia hanya diam.

Yang sejak awal itu tujuannya, membawakan pesanan Ibunya untuk Ezra, bukan berbicara tentang mengapa ia memilih kandas dengan hubungan yang sebenarnya sangat ia sayangi, bukan juga bertegur sapa lalu berkata rindu, bukan itu semua bagi Camellia.

Walaupun ia ingin, walaupun ia mau mendengarkan yang dibicarakan Ezra, tetapi ia tidak egois. Ia tidak seberani itu untuk menyakiti orang lain dua kali dengan mendengarkan cerita Ezra yang terus berbicara 'tidak apa-apa'.

Terlihat di ujung matanya, ia menatap Ezra kosong.

Lalu pergi, lagi. Seakan dikejar sesuatu.

Seperti waktu itu, seperti dua bulan yang lalu.

Camellia selalu seperti itu, pergi dengan perasaan miliknya tanpa tahu kalau Ezra pernah menjaga itu semua dengan hati-hati, takut Camellia teringat dengan hubungan orang tuanya, dikecewakan.

Ezra tertawa miris, rasanya sia-sia.

Ya sudah, setidaknya ini bukan bandara, tetapi stasiun yang akan ia datangi setiap tiga bulan sekali untuk mendatangi rumah lamanya.

Kacau sekali.

Kenangan menyakitkan itu mulai tersimpan rapi untuk diputar ribuan kali nanti.

Ezra lupa, kalau letupan-letupan kembang api tak pernah menyala utuh, tetapi beterbangan lalu hilang di gelapnya malam seakan letupan tadi tak bermakna apa-apa, selain dentuman suara.

Sirna.

RehatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang