"Ta, aku penasaran deh kalau ada orang yang bisa buat alat untuk ngeliat berapa persen orang ini suka sama kita, kira-kira kamu mau beli nggak?" tanyanya tiba-tiba sembari menunggu bus berikutnya.
"Buat meminimalisir terjadinya sakit hati gitu loh Ta," ujar gadis berambut sebahu itu menyambung kalimatnya.
Altair berpikir sebentar memikirkan banyak kemungkinan lalu menggeleng, "Hmm kalau gue nggak bakal beli sih, menurut gue kalau persen kasih sayang seseorang kelihatan sama orang lain yang ada malah sakit hati massal di seluruh dunia."
"Sakit hati karena?" tanya Ayana mengernyitkan dahi sambil memandang ujung kedua sepatunya di halte bus yang masih basah karena hujan tadi sore.
"Na, lo pikirin aja orang yang lo suka itu pasti punya orang lain 'kan?" tanya Altair kurang ajar.
"Ya.. iya sih." Ayana mengangguk ragu-ragu walaupun ia ingin memukul pelan teman lesnya itu.
"Nah, perumpamaannya gini, lo suka dia—dia suka orang lain—orang lain suka juga sama orang lain lagi begitu terus kaya rantai, kira-kira kalau persen yang lo maksud kelihatan seluruh dunia bakal gimana?" tanya Altair sambil menjentikkan jarinya.
"Kacau." gadis itu menjawab cepat seakan ia membayangkan kusut masai perasaan seseorang karena sebuah angka.
"Iya kacau, kacau balau." Altair mengangguk ikut membayangkan.
"Tapi Ta, semisal ada satu orang yang memutus rantai itu gimana?" tanya Ayana tiba-tiba yang semula Altair kira pertanyaan itu akan selesai sampai disana.
"Orang itu nerima apa adanya kaya yang lo maksud?"
"Na, bukannya jatuh cinta bukan cuma tentang jatuh suka lalu perasaan itu ada, tapi ada satu lagi 'kan yang sepaket." ujar Altair melanjutkan kalimatnya.
"Sakit hati." jawab Ayana tiba-tiba.
"Seratus buat lo, orang yang milih untuk jatuh cinta padahal ia amat sangat tahu kalau perasaannya kecil kemungkinan dibalas, dia orang sinting sekaligus pemberani." terang Altair yang seakan mendeklarasikan kalau dirinya jugalah orang sinting itu.
"Lalu, orang yang tahu kalau ada orang yang suka sama dirinya, tetapi nggak pernah ngasih penolakan dengan jelas, dia naif."
"Mungkin.. mungkin dia udah nolak yang caranya ngasih banyak sinyal nggak jelas dan bagi dia itu udah cukup," ujarnya dengan ragu-ragu.
Ah, mungkin gadis itu mengira bahwa akan sesederhana yang ia pikirkan. Tetapi, Altair tak ingin menjawabnya membiarkan kalimat yang Ayana ucapkan menggantung tanpa punya jawaban.
"Terus kamu, kamu yang mana?"
"Gue?" tunjuk dirinya sendiri lalu tertawa. "Gue orang sinting,"
"Sekaligus pemberani 'kan?" ucap Ayana terkekeh geli.
Altair tertawa renyah mengangguk kecil.
Bus yang sedari tadi mereka tunggu akhirnya datang, ramai seperti biasanya. Altair menyuruh Ayana berjalan lebih dahulu menaiki tangga lalu ia berdiri di sebelah gadis itu.
Seperti biasanya.
Ayana akan berdiri sambil berpegangan di dekat pintu keluar, lalu laki-laki itu persis berada disampingnya. Kemudian keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, Altair dengan perasaan cemas semoga kali ini sang ibu tidak mengomelinya terlalu panjang, dan Ayana dengan makan malamnya.
Altair merutuki dirinya, menghela napas perkataan dari mulutnya tak ayal lagi hanya jadi bumerang. Sial, barusan apa yang ia katakan. Pemberani? Sejak awal saja arah rumahnya bukan kesini lagipula tiap Ayana bertanya rumahnya ada di jalan mana, dirinya selalu menjawab didekat sini.
Untuk pertama kalinya, Altair berharap alat sinting itu takkan pernah ada. Ia tebak mungkin sekitar.. 91%.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rehat
Short StorySetengah perjalanan yang kau tempuh. Belum cukup. Belum sampai. Masih ada setengahnya lagi, untuk kau raih. Kita ada untuk tetap bertahan meski semuanya rumit. Kita ada tanpa pernah tahu jalan yang dituju amat penat. Kita tahu, kalau sebuah perasaa...