37 | Wedding Day
Sejak semalam, aku tidur tidak tenang.
Mungkin akan terdengar berlebihan dan seperti mengada-ada, tapi aku tidak bisa memejamkan mataku setidaknya lima menit. Cemas, waswas, takut, gugup—semuanya bercampur. Pagi ini, aku mulai panik bagaimana bisa aku jadi pengantin, tapi kantung mata sudah menghiasi bawah mataku. Untungnya, penatas rias kenalan ibuku sangat mahir. Jadi yah, setidaknya itu tersamarkan.
Aku menatap lagi gaun pengantinku. Sebenarnya, itu gaun pilihan ibuku, tapi aku menyukainya. Gaunnya ramping berekor panjang. Baian bahunya terbuka dan menunjukkan belahan dadaku, tapi tidak terlalu vulgar. Aku juga suka bahannya yang sejuk dan cukup ringan, jadi aku tidak perlu khawatir akan merasa kurang nyaman.
Sementara aku memperhatikan gaun pengantinku yang masih dipajang di manekinnya, mereka mulai bekerja gesit. Pemberkatannya jam sembilan, dan sekarang sudah jam tujuh. Mereka berusaha merombak penampilanku dengan semaksimal mungkin. Mereka menata rambutku jadi gelungan simple, namun menambahkan tiara mungil serta memasang veil hingga memberikan kesan khas pengantin perempuan yang akan diikat dalam ikatan suci.
Aku tersenyum sewaktu ibuku turut bergabung. Dia sudah berkaca-kaca memperhatikanku. "Dahyun, putriku, sangat cantik."
"Eomma, aku sangat gugup."
Ibuku tersenyum simpul. "Tidak apa, tapi semuanya akan berjalan lancar. Aku yakin." Apalagi di luar sangat cerah. Pagi ini sepertinya punya suasana lebih tentram daripada yang aku bisa sadari. Ibuku sudah mengenakan gaunnya, rambutnya tergelung juga dan dia menggunakan kalung mutiara cantik.
Hari ini, hari kami. Sesering apa pun aku berusaha melogiskan itu, aku kepayahan. Jungkook akan menjadi suamiku. Perasaan yang tengah kurasakan tidak terlukiskan lagi. Aku bahagia. Yeah, akhirnya. Selama mereka terus mendadaniku dengan tangan-tangan ajaib mereka, memasangkan kalungku, anting, serta membantu memakaikan sarung tangan satin, membantuku mengenakan gaun pengantin, sepatu tinggi yang cantik—aku masih sulit mempercayai hari ini tiba; kami menikah.
.
.
Aku meminta secara khusus agar mereka menghias dengan mawar putih. Ada perasaan membuncah karena melihat mawar yang suci itu berada di mana-mana, menebar harum. Aku juga ingin di hari itu, keluarga ibu dan kenalan Jungkook, siapa pun itu, pokoknya hadir. Jadi, aku ingin melihat kursi-kursi itu terisi penuh.
Setelah beres dengan seluruh persiapan, kami langsung berangkat. Perutku seperti melorot di lantai kala membayangkan Jungkook berdiri gagah menantiku. Sebenarnya, semalaman ini, aku terus resah karena tidak sabar bertemu Jungkook. Seminggu ini kami tidak berhubungan sesuai permintaan keluargaku. Dia juga tidak muncul seolah menghormati itu.
Aku rindu. Mau peluk. Mau cium.
Setibanya di sana, mereka mulai menata ekor gaunku, menyerahkan buket bungaku. Debaran itu makin menggebu-gebu. Aku tersenyum tipis pada ibuku yang menyemanganti. Pintu ganda itu pun terkuak lebar. Wedding merch dimainkan, memenuhi pendengaran siapa pun. Aku mulai berjalan, berhati-hati.
Sesaat aku mengangkat wajahku, aku melihat Jungkook mulai menunggu. Tubuhnya tegap. Dia sangat tampan dalam baluan jas hitamnya, melihatku dari jauh, sedangkan aku kesulitan bernapas. Gaun ini terasa lebih sesak. Setiap langkah yang kubuat justru terasa berat dan mendebarkan. Aku merasa tiap sarafku sangat peka, sedangkan semua tatapan hadirin tertuju hanya padaku.
Tidak pernah merasa cocok di mana pun. Tidak pernah merasa spesial untuk orang lain. Tidak pernah merasa akan begitu disayangi seseorang.
Aku jusru akan menikahi pria yang sangat kucintai. Letupan kebahagiaan itu makin nyata sewaktu aku berada dekat di altar. Jungkook agak menunduk agar pandangan kami terkunci. Dia tersenyum seolah lega aku ada di sini. Seolah beruntung menemukanku, seolah merasa bahagia karena aku terlahir setelah tujuh ratus hidupnya sendirian.
"Dahyun."
Aku menerima uluran tangannya, terasa yakin dan hangat.
.
.
Kami berdiri membelakangi para tamu. Jungkook tersenyum ke arahku, sedangkan aku mengenggam buket bunga yang akan dilemparkan ke belakang dengan bebas. Pesta taman itu digelar di Daegu, dekat dengan hutan Jacheon tapi cukup mudah diakses dan terasa sejuk. Para tamu juga terlihat nyaman sejak tiba di sini; berbincang, menyantap makanan dan duduk nyaman di kursi-kursi berpita. Aku membayangkan hari ini seindah ini, dan semua terwujud.
"Siap?"
"Ya!" Aku cepat memekik lalu melemparkan buket bunga itu. Ternyata sepupu jauhku yang mendapatkannya dan dia langsung heboh mendekap kekasihnya. Aku tertawa pelan, sedangkan Jungkook mulai meraih tanganku, membungkus tanganku dalam genggaman tangan lebarnya.
Jungkook memandangiku, menyingkirkan helai rambut yang lolos dari gelungan rambutku. Malam ini, kami langsung berangkat ke Santorini untuk berbulan madu. Meski aku merasa gugup sampai tidak bisa berucap apa pun, aku merasa senang akan menghabiskan waktu indah bersama Jungkook. Hanya kami. Ibuku terlihat mengobrol bersama beberapa anggota keluarga lain. Teman-teman Jungkook juga hadir kemari dan terlihat bahagia.
"Kau bahagia?" tanya Jungkook. Seharian ini bagai lamunan, tidak nyata.
Aku mengangguk cepat.
"Aku juga." Jungkook memiringkan wajah, kemudian melumat bibirku lembut. Aku langsung melingkarkan tangan di sekitar lehernya, membalas ciumannya hati-hati. Jungkook menjamah lidahku, sedangkan bibirnya kian menekan bibir kami bersaamn, membentuk gerakan indah. Jungkook menjaga rahangku di tempat, sedangkan tangannya menarikku agar tubuh kami menempel.
Tuhan, aku mau momen ini abadi. Tuhan, aku tidak minta apa pun selain kebahagiaan kami sekarang. Jungkook terus menambah ritme ciuman kami, dan aku hampir terengah-engah menyeimbanginya, sampai dehaman dan terdengar. Kami tersadar masih terjebak di pesta.
Jungkook mengusap bibir bawahku yang panas, berjejak bibirnya. "Kita harus menunggu sampai nanti malam," katanya lembut. Aku merasa pipiku memerah dalam tempo cepat. Aku mengangguk.
Tidak berapa lama, para tamu mulai berhenti bercakap-cakap, digantikan musik yang mengalun. Di tengah para tamu itu, mataku terhenti pada satu sosok bergaun panjang yang tengah memancangkan perhatian pada kami. Wajahnya nampak mengabur karena aku berdiri cukup jauh darinya, tapi aku merasa ada daya tarik aneh.
"Dahyun."
Ibuku masih hidup. Ibuku pasti mengawasi kita. Ibuku harusnya hadir di pernikahan kita. Aku tidak tahu dari mana pemikiran itu mencuat. Tapi, aku tahu, sosok itu seperti tidak asing untukku. Selama Jungkook mengajakku mengobrol dengan tamu lain yang mengucapkan selamat serta menebar senyuman simpul. Aku terus terjaga, memperhatikan sekitar lagi, nyaris terhuyung di kakiku sendiri. Ibuku Kitsune asli. Ibuku akan menerimamu kalau kalian bertemu. Ibuku sangat terobsesi dengan hidupnya, egois, tapi aku sadar, dia terus menjagaku.
"Ibumu di sini, ya."
Jungkook tersentak. Dia berhenti berbicara dengan satu temannya, kemudian mulai menelengkan wajah. Jungkook nampak tampan dan gagah. Jasnya terlihat cocok untuk tubuh atletisnya dan sekarang dia menawan dalam jas silver yang licin. "Apa maksudmu?"
Aku tercekat napasku, masih memengangi lengan kokohnya. "Aku merasakan dia di sini."
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
KITSUNE'S KISS | jeon jk (Full-Length Version) ✔
Fanfiction(Fantasy - Romance) Im Dahyun pikir dia sudah tewas di tempat. Kunjungan ke rumah Pamannya di pedalaman Daegu memang bukan hal yang main-main. Melewati medan yang terjal, perbukitan curam serta berada di sekeliling hutan bercurah hujan tinggi. Dahyu...