Bonus Chapter 2

187 25 0
                                    

"Jangan takut."

Aku hampir terjungkal kakiku sendiri sewaktu sesuatu bergemirisik dari belakang rumah, kemudian wujudnya tinggi besar dan menakutkan. Ibu Jungkook kelihatannya lebih nyaman muncul secara mendadak dan dalam bentuk rubah Kitsunenya. Karena sekarang, dengan kedua kaki depan yang kuat, ia duduk di depanku dan menatapku dalam.

"Ibu... kaukah?" Hampir empat tahun beliau jarang memunculkan diri, dan mengejutkan sekali di pagi yang mendung ini, aku dapat kunjungan.

"Ya. Dengar kalian harus lebih berhati-hati. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dan ada lebih banyak urusan mendesak. Tapi, aku sayang putraku dan cucuku," katanya serak. "Aku tidak mau ada yang terluka. Jadi, jika malam pastikan kunci semua pintu dan jangan biarkan Jungkook lama-lama meninggalkan kalian. Bau busuk ini terus mengganggu, jadi aku makin penasaran kapan dia akan memunculkan dirinya."

Aku meneguk ludah. "Apakah dia sangat jahat?"

"Kau membuat kontrak dengan Dewa Harimau Putih, itu sebuah kesalahan fatal. Jika kau bertanya apakah dia sangat jahat? Kau tidak akan sanggup membayangkan apa saja yang mampu dia lakukan padamu."

"Ibu." Suaraku mendadak lirih. Aku menahan tangisku dan memperhatikannya. Kitsune itu menggerakkan ekor besarnya, kemudian menunduk ke dekat wajahku. "Apakah Juyeon akan baik-baik saja...."

"Aku akan melindungi kalian."

Aku tidak pernah dekat dengannya. Ibu Jungkook seperti mitos yang tidak pernah masuk akal dan dia tidak ingin diketahui siapa pun. Ketika aku hendak mengangkat wajah, dari mulutnya terlihat bola kristal bercahaya. Kitsune melindungi bola itu persis seperti yang Jungkook lakukan dan aku setengah terpana karena dia menelannya lagi lantas mencium puncak kepalaku.

"Aku akan selalu di dekat sini," bisiknya serupa angin. Setengah menunduk, dia pun mundur dan pamit dari hadapanku. Ekornya berkibas-kibas, sedangkan bulunya bercahaya. Itu terakhir kali aku melihat ibu Jungkook di desa itu. Aku, Juyeon dan Jungkook jarang membicarakan Kitsune karena Juyeon masih terlalu kecil untuk paham, Jungkook seolah memberikan isyarat padaku untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Kami aman, batinku. Meski aku tetap cemas, aku merasa aman karena mengetahui ibu Jungkook mungkin berjaga siang-malam demi kami.

*

*

Tetangga sebelah mengundang kami untuk mampir. Anak terkecil mereka, yang usianya setahun di atas Juyeon rupanya tengah berulang tahun.

"Ucapkan salam, Juyeon."

Juyeon cepat membungkuk dan menuruti ucapanku. Kami masuk disambut dengan baik. Makanan di mana-mana, penuh dengan gula-gula dan terlihat mengundang air liur. Juyeon meminta izin padaku untuk makan kue dan aku mengangguk pelan.

Jungkook masih keluar untuk bekerja, jadi dia akan menyusul nanti.

"Bagaimana menurutmu desa ini, Dahyun? Cukup asri dan penduduknya ramah, bukan?"

"Ya, aku lumayan betah di sini." Aku mengusap kepala Juyeon di saat bocah itu menyantap kue cokelatnya. "Kalian sudah lama tinggal di sini?"

"Ya, pindah dari kota. Biaya hidup di sana sangat tinggi, kau akan kesulitan untuk mencari pekerjaan pula. Kami bukan lulusan universitas dan cukup sulit beradaptasi. Jadi, kami pindah dari sana dan membeli rumah ini. Keluargaku sempat tidak setuju katanya hutan dekat sini berhantu."

Aku terkekeh. Dibanding hantu, aku lebih takut akan makhluk berwujud. "Begitu ya."

"Semoga kau tetap betah di sini. Juyeon anak yang baik."

Aku tersenyum dan menunduk. Juyeon terus menyantap kue cokelatnya. Tamu lain turut muncul dan memberikan kado. Juyeon sudah menyiapkan kado dan memberikan pada si pemilik acara itu. Wajah mereka berseri-seri. Berada di tengah manusia, aku menjadi sadar pernah menjadi bagian dari mereka. Jujur, menikah dengan Kitsune membuatku sadar aku berada di tengah manusia-Kitsune. Jungkook berusaha membuatku bisa menerima semua dengan lapang dada. Tidak mudah tapi sepadan.

"Ibu, apakah aku boleh makan puding?"

"Ya." Aku berjongkok agar mensejajarkan tinggi kami seraya mengelap sudut bibirnya. Mataku tertuju pada gigi taring Juyeon yang makin tajam. Aku terdiam, kemudian tersenyum. "Silakan kau ambil sendiri dengan anak-anak lain, Nak."

"Oke, Bu!"

Juyeon berlari gesit mendekati meja pajang di mana puding berkilau itu disajikan. Ada banyak rasa dan puding buah menjadi daya pikat sendiri.

"Kau terlihat masih muda, Dahyun. Aku terkejut ternyata kau sudah menikah dan punya anak ketika datang," kata satu tetanggaku yang lain, namanya Sue.

"Oh ya, aku memang menikah di usia yang masih terbilang 'muda' untuk orang kebanyakan."

"Pasti sulit."

"Ya, kadang."

Jungkook datang dengan bapak-bapak lain. Ia mendekap pinggangku, berbincang dengan yang lain dengan sedikit tawa. Semua terasa normal, berbaur dengan mereka membuat kami normal dan wajar seperti bagian dari masyarakat ini. Juyeon minta digendong, kemudian acara potong kue pun dimulai.

"Kapan-kapan ulang tahunku seperti ini, Ayah."

"Tentu, Juyeon."

Aku menatap keduanya bergantian, kemudian bersandar di bahu Jungkook. Juyeon memandang anak lain, dan pesta yang tengah berlangsung. "Juyeon, Ibu berubah pikiran. Apa yang kau inginkan? Walau ulang tahunnya lewat, kau bisa minta sesuatu."

"Dahyun, benarkah?"

"Boleh kah, Ibu?"

"Ya. Mau apa?" tanyaku. Ada sisa uang di dompetku dan mungkin cukup untuk membelikan Juyeon hadiah. Bagaimanapun, aku mau dia terlihat senang.

"Kue manis?"

"Itu saja?"

"Sepeda!" katanya. "Aku mau naik sepeda." Jungkook terkekeh karena Juyeon yang terlihat bersemangat dan memperagakan bagaimana seseorang naik sepeda. Aku mengangguk pelan. "Asyik!"

Jungkook menoleh padaku dan menurunkan Juyeon karena dia dipanggil untuk menerima kuenya. "Apakah semua baik-baik saja? Apakah Ibu datang lagi?"

"Tidak, dia tidak pernah muncul. Aku rasa dia masih dekat sini."

"Kau tidak nyaman?"

"Tidak. Aku justru lega ibumu terus memantau kita. Dia terlihat bisa diandalkan," jawabku dan mengusap lengan Jungkook. "Bagaimana di kebun?"

"Baik." Jungkook tersenyum. "Oh ya, aku meminta mereka menambah jam di hari Sabtu tapi aku pasti pulang tidak sampai malam."

"Jangan bekerja terlalu keras begitu, Jung."

"Apa maksudmu? Aku baik-baik saja. Semua dapat kuatasi," katanya dan mengusap kepalaku. Jungkook tidak pernah berubah; selalu berusaha membuatku semua baik-baik saja. Dia tidak pernah mengeluh, seletih atau secapek apa pun pekerjaanya di kebun.

"Apakah kau akan berburu? Maksudku, ini sangat lama..."

"Tidak tahu. Aku tidak bisa meninggalkan kalian dan aku akan berusaha di dekat sini saja tapi tanpa ketahuan siapa pun." Suaranya memelan. "Tidak perlu khawatirkan aku. Kitsune... Kitsune dalam diriku dapat dikontrol dengan baik."

Ya, aku yakin itu.

Juyeon bercanda dengan anak-anak lain. Aku menepi untuk membantu para ibu membawakan snack untuk dibawa pulang serta merapikan peralatan makan yang tercecer karena anak-anak yang berkumpul pasti aktif dan sangat heboh bermain. Aku memungut satu garpu plastik, menata piring yang bersih dan mengatur gelas agar tidak terpisah di mana-mana.

"Aku dengar, ada Kitsune liar yang lepas ke hutan. Kau tahu? Mereka akan menyantap hati para gadis manapun dan membawa mereka untuk jadi santapan di gua."

"Ah, mengerikan. Aku jarang percaya cerita seperti itu, tapi aku lihat sendiri bagaimana anak dari kepala desa diculik kemudian hilang beberapa hari."

"Kitsune itu mirip vampir, bukan? Maksudku, makhluk ganas yang tidak punya perasaan?"

"Kita harus berjaga, jangan sampai lengah atau anak kita yang akan jadi santapan selanjutnya."

"Aku akan melaporkan ini pada kepala desa. Kitsune liar itu harus dibunuh!"

[]

KITSUNE'S KISS | jeon jk (Full-Length Version) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang